CHAPTER 11

3.6K 482 25
                                    

Doyoung pikir menjadi permaisuri itu artinya dirinya bisa bermalas-malasan tanpa tekanan, tanpa berfikir besok ia akan makan apa. Semuanya sudah ada yang menyiapkan bahkan mandi pun. Tapi pagi ini, saat dirinya dibawa Mashiho ke ruang kerja permaisuri, dengan setumpuk kertas-kertas berwarna coklat yang tak Doyoung mengerti isinya, membuatnya sadar alasan mengapa sang permaisuri waktu itu terjun ke sungai.

"Aku harus bekerja?" Tanya Doyoung setelah memeriksa kertas-kertas itu. Sebagian besar hanya butuh cap kerajaan sesuai instruksi Mashiho. Beberapa lagi perlu pemecahan masalah yang mana membuat Doyoung pusing.

"Kenapa tidak Haruto saja sih?"

"Permaisuri, sebagaimana janji sehabis menikah anggota kerajaan, anda sebagai permaisuri juga turut menyelesaikan seperempat masalah kerajaan, sisa nya diurus yang mulia raja bersama bangsawan lainnya. Termasuk masalah perizinan, sesuai peraturan, ada beberapa hal yang harus atas seizin Raja, dan juga ada beberapa hal yang harus atas seizin permaisuri."

Doyoung berdecak sebal, diletakkannya kembali kertas-kertas itu. Bayangkan, Doyoung harus memecahkan masalah rumit sementara hidup Doyoung sudah sangat rumit.

"Tidak bisakah aku mendapat cuti lagi? Aku merasa masih sakit."

"Tidak!"

Semua atensi lantas menuju ke arah pintu yang terbuka. Raja Watanabe Haruto kini berjalan ke dalam ruangan dengan wajah datarnya membuat Doyoung memicing. Dengan sekali isyarat, beberapa pelayan berserta Mashiho meninggalkan ruangan menyisakan sang Raja bersama sang permaisuri di ruang kerja.

"Kenapa?"

"Kau sudah sehat."

Doyoung menghela napas. Apakah ia harus menggunakan bakat akting pura-pura pingsan agar dapat cuti? Sepertinya iya.

"Kau bahkan kuat mendorongku sampai terjatuh." Haruto mengecek satu-persatu lembaran kertas itu tanpa menoleh ke arah Doyoung.

"Pfttt." Doyoung yang semula berancang-ancang pingsan kini tidak jadi. Sebisa mungkin menahan tawa agar tidak meledak di depan sang Raja. Begini-begini Haruto kalau sedang marah itu seram.

"Jadi kau masih dendam ya karena ku buat kepala mu benjol?"

"Bukan benjol, ini cidera!" Haruto jadi sensitif dengan kata benjol. Lihat saja penampilannya yang biasanya paripurna tanpa celah harus tiba-tiba memakai perban untuk menutupi bekas biru yang syukurnya sudah mulai mengempes.

"Salahmu sendiri mengajakku membuat penerus."

"Memangnya salah?" Haruto mengalihkan pandangannya pada Doyoung. Suasana seakan berubah dalam sekejap.

Hening menyelimuti saat kedua netra itu saling mengunci. Doyoung terdiam melihat sorot mata yang sirat akan putus asa.

"Kalau bukan dengan mu lantas dengan siapa lagi?" Pertanyaan Haruto menguar tanpa jawab. Doyoung tertegun, ia kaku untuk sekedar mengutarakan kata. Memang benar, hanya Doyoung satu-satunya yang dinikahi Haruto. Raja itu bahkan tak memiliki selir meski bisa.

Doyoung jadi bimbang.

"Kau bisa menikah lagi." Ucap Doyoung.

"Kau ingin aku menikah lagi?"

Doyoung mengangguk ragu. Haruto semakin mencondongkan tubuhnya ke arah sang permaisuri. Mungkin jika tidak ada meja kerja, keduanya sudah sangat dekat.

"Kenapa aku harus menikah lagi?"

Doyoung bingung, ia terdiam lagi dan lagi.

"Kau butuh penerus 'kan? Aku pikir kau akan mendapatkannya setelah menikah lagi."

"Kenapa bukan dari mu saja?"

"Tidak!"

"Tidak?"

Doyoung kesal lama-lama. "Tidak, aku belum siap." Katanya lantas mengalihkan pandangannya kepada kertas-kertas yang sempat ingin ia lempar tadi.

"Kalau begitu aku akan menunggu mu sampai siap—"

Brakkkk.

"KAN SUDAH KU BILANG AKU TIDAK MASALAH JIKA KAU MENIKAH LAGI." Napas Doyoung memburu. Hatinya mendadak sesak hingga air matanya mengumpul di pelupuk. Ia tak berniat membentak Haruto, hanya saja ia agak kurang nyaman dengan topik pembahasan yang berputar-putar.

"Tapi aku yang bermasalah jika harus menikah lagi." Atmosfer tegang semakin terasa kala Haruto menatap tajam ke arah Doyoung. Haruto memang tak membentak, tapi suara tegasnya mampu membuat air mata Doyoung menetes. Ia tak tahu mengapa bisa secengeng ini, tapi rasanya seperti tertusuk sesuatu pada ulu hati. Doyoung tak kuasa menahan genangan bulir di pelupuk mata.

Menyadari itu Haruto lantas menghela napas. "Tidak bisakah kau mengatakan hal yang lain selain menyuruhku menikah lagi? Aku tidak masalah menunggu mu, atau aku bahkan tidak masalah jika kita tak memiliki penerus, aku tidak masalah jika harus dilengserkan, asal bersama mu—" Dada Haruto rasanya sesak, suaranya hampir serak. Sepersekian detik ia memejamkan mata menahan gejolak amarah.

Saat ia membuka mata, wajah sang permaisuri yang memerah menahan tangis membuatnya sedikit luluh.

"Istirahatlah, pekerjaan ini biar aku yang menyelesaikan."

Haruto mengambil alih semua kertas-kertas itu di meja sebelum melenggang pergi meninggalkan Doyoung dengan rasa amat bersalahnya. Ia dapat melihat sorot tulus yang membuat darahnya berdesir. Tidak tahu kenapa tapi sepertinya banyak hal penting yang perlu ia cari tau.

Termasuk bagaimana bisa Haruto secinta ini pada permaisurinya.

REWRITE THE HISTORY | HARUBBY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang