CHAPTER 13

3.5K 504 57
                                    

Malam semakin larut, bukan lagi bunyi jangkrik menemani kesunyian larut malam ini, tetapi decitan ranjang akibat sang permaisuri yang tidak bisa berhenti.

Doyoung berguling kesana-kemari mencari posisi ternyaman untuk sekedar terlelap. Besok pasti ada saja jadwalnya bertatap muka dengan para bangsawan. Aneh saja, Doyoung malah mulai terbiasa dengan tata Krama istana, padahal dulunya, Doyoung adalah tipe orang yang sering melanggar peraturan.

Sebenarnya, Doyoung bukan penderita insomnia. Tapi pikiran-pikiran yang berkecamuk membuatnya susah terlelap. Sedangkan di sampingnya, Haruto sudah terlelap dengan posisi terlentang serta satu tangan dilipat diatas perut. Wajahnya damai namun sedikit nampak gurat lelah dari wajah tampan sang raja. Kalau boleh jujur, Haruto tak seburuk itu. Bahkan kalau mungkin sang Raja bereinkarnasi, Doyoung yakin Haruto adalah seorang model papan atas, atau setidaknya publik figur karena visualnya sangat tidak manusiawi.

Memandangi Haruto membuat Doyoung semakin tidak mengantuk. Perlahan-lahan, Sang permaisuri membawa dirinya menuju tepi jendela yang hanya dilapisi kain gorden.

Kedua tangan itu menyibak kain dengan bordiran emas hingga nampaklah keadaan luar yang cukup lenggang, angin malam menerpa wajah Doyoung membuatnya memejamkan mata sesaat.

Dilihatnya sebuah kolam buatan tak jauh dari paviliun Raja, sebuah jembatan melingkar diatasnya, jembatan kayu yang nampak serasi dengan kolam yang penuh dengan bunga teratai yang sudah mekar. Ditambah sinar bulan sabit yang menambah kesan damai malam ini.

Doyoung ingin kesana!

Doyoung pikir, setelah dirinya nekat membuka pintu kamar pelan-pelan, dirinya akan dihadapkan dengan dua pengawal yang mungkin menghalanginya keluar. Berbagai alasan sudah terbesit sejak tadi, tapi kemudian Doyoung dibuat bingung dengan keadaan luar yang sepi. Seakan mendukung Doyoung menuju tepi kolam.

Tak butuh waktu lama, Doyoung kini berdiri di tengah jembatan kayu yang melintang diatas kolam. Merasakan hawa sejuk yang sedari tadi mengetuk piyama tidurnya. Baju ini sedikit lebih tipis dari biasanya, tidak berlapis-lapis juga lebih nyaman. Hanya saja, kalau ada hoodie tebal pasti lebih nyaman.

"Sebentar? Tadi aku sedang memikirkan apa?" Kim Doyoung mencoba mengais ingatan tentang apa yang membuatnya resah malam-malam untuk kemudian ia renungkan lagi di tepi kolam. Suasana cukup mendukung untuk berfikir.

"Kim Junkyu?" Tiba-tiba saja nama itu terbesit tanpa diminta. Doyoung tersenyum kecil. "Bodoh sekali si Raja itu, jelas-jelas Kim Junkyu lebih manis dariku——" Doyoung tiba-tiba terdiam saat merasa janggal.

"Tidak, kata Ibu, aku yang paling manis di dunia ini." Sambungnya sambil terkekeh kecil. Ada-ada saja yang permaisuri pikirkan sampai-sampai tidak bisa tidur. Juga tentang kenapa Watanabe Haruto lebih memilih dirinya daripada calon permaisuri yang sebenarnya. Aneh saja, menurut Doyoung.

Biasanya kalau Doyoung sulit tidur ia pasti akan lari ke dapur membuat seporsi mie instan dengan telur setengah matang. Setelah jadi ia akan lari menuju ruang televisi untuk menyaksikan komedi malam-malam berakhir dirinya ketiduran dan terbangun akibat alarm alami—alias suara Mashiho yang marah-marah akibat Doyoung tak mematikan televisi juga tak meletakkan mangkok kotor pada tempatnya.

"Apa sudah ada mie di zaman ini? Sepertinya enak makan ramen di sini." Membayangkannya membuat Kim Doyoung menjadi lapar. Tapi ia tak tahu harus bagaimana.

Pada akhirnya ia hanya diam merenung menyaksikan permukaan kolam yang hampir tertutup semua dengan daun teratai.

"Kim Junkyu? Kim Doyoung? Apa kita bersaudara?" Kim Doyoung memiringkan kepalanya tanda ia sedang bertanya-tanya. Tapi ucapannya hanya menguar tanpa jawab, lagipula akan aneh kalau ada yang menyahut.

"Tidak mungkin, Aku yang rakyat jelata mana mungkin bersaudara dengan bangsawan." Doyoung mengangguk-angguk kecil. Setelahnya ia kembali mengernyit. "Tapi sekarang kan aku permaisuri? Aku termasuk bangsawan kan ya." Doyoung tersenyum lebar, merasa pemikirannya membuatnya lebih baik.

Ia bangsawan sekarang.

Aneh.

Doyoung segera menghentikan senyuman anehnya, melanjutkan kegiatan merenung di depan kolam.

"Apa ada ikan disini?" Doyoung merasakan pergerakan dari balik daun teratai mulai penasaran. Tubuhnya ia condongkan ke depan dengan kedua tangan bertumpu pada pembatas jembatan sekedar ingin memastikan apakah yang ia lihat barusan betulan ikan atau hanya katak.

Makanya memicing, tubuhnya semakin condong. Doyoung membulatkan matanya saat merasakan sebuah tarikan di belakang bajunya membuat dirinya terjengkang ke belakang menabrak tubuh seseorang.

"Kau ingin bunuh diri lagi?"

Suara keras nan tegas membuat Doyoung seketika berdiri, dilihatnya Haruto dengan rahang mengeras juga pandangan yang tajam. Doyoung mengerutkan keningnya bingung.

"Bukan, aku—"

"Astaga Kim Doyoung, kenapa kau ingin sekali mengakhiri hidup mu?" Haruto mengusak rambutnya frustasi.

"Kau berfikir Aku sedang mencoba bunuh diri?"

"YA!"

"Apa?"

"Aku melihat mu. Kau tidak tahu berapa dalam kolam ini?"

Doyoung menoleh sekilas pada kolam itu. Doyoung rasa kolam itu tak sedalam apa yang dibicarakan Haruto. Dan mengenai tuduhan bunuh diri, Doyoung agak tersinggung.

"Aku tidak sedang mencoba bunuh diri. Aku hanya—"

"Kau permaisuri! Kau ingin mempermalukan ku dengan tindakan mu? Kau pikir kau siapa, Kim Doyoung!" Suara Haruto semakin meninggi seperti emosi Kim Doyoung yang ikut meninggi ketika mendengar kalimat Haruto barusan.

"Kau memotong ucapan ku! Aku tak pernah bermimpi jadi permaisuri, kau tau!" Doyoung tak kalah marah, entah kenapa rasanya sedikit sesak pada ulu hati. Seperti sehabis dipukul berkali-kali. Memang benar di masa depan dimana negara sudah dipimpin oleh presiden, sangat mustahil jika Doyoung menjadi permaisuri.

"Apa yang kau bilang?"

"Kenapa menjadikan aku permaisuri kalau aku tak siap memberimu putra, Aku mempermalukan mu berkali-kali, aku lupa siapa diriku. Ya! Aku tak sesempurna Kim Junkyu. Lantas kenapa kau tidak menikah dengannya saja?"

"Kim Doyoung!"

Keduanya saling mengunci tatapan, tapi kilat emosi jelas terpancar dari keduanya. Lebih tepatnya kilat kekecewaan dari sang permaisuri. Perasaannya menjadi sedikit sensitif.

"Buang saja aku, nikahi Kim Junkyu dan semuanya selesai. Kau menyebalkan." Gurat marah itu perlahan-lahan membentuk kurva bening yang beberapa saat kemudian pecah akibat tak mampu terbendung lama-lama.

Haruto menghela napas, rasa paniknya membuat emosinya menguasai.

"Kembali ke kamar mu!" Ucap Haruto sedikit lebih lembut.

"Tidak, Aku ingin tidur bersama Kak Mashi. Pergi saja kau dengan Kim Junkyu." Air mata yang semula hanya beberapa tetes menjadi semakin banyak. Hidung Doyoung bahkan memerah, perasaannya menjadi kian sensitif saat ia menyebutkan nama Kim Junkyu diakhir kalimat.

"Berhenti menyebut, Kim Junkyu."

Doyoung mengusap air matanya kasar. "Kim Junkyu, Kim Junkyu, Kim Junkyu. Dasar Raja sialan."

Setelah melanggar perintah Haruto, bahkan berani mengumpati sang Raja, Doyoung berlalu begitu saja ke sembarang arah meninggalkan Haruto yang masih berdiri diatas jembatan kayu. Ia hanya diam melipat tangan di depan dada sembari menyaksikan ke arah mana Doyoung pergi.

Haruto menghela napas kasar.

"Kenapa kearah sana? Memangnya Kau ingin tidur bersama kuda?"

REWRITE THE HISTORY | HARUBBY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang