CHAPTER 31

3K 431 68
                                    

Selama memasuki fase hamil tua, Doyoung sudah jarang lagi merasakan menginginkan sesuatu atau disebut mengidam. Tak separah ketika dulu. Tapi kali ini, Doyoung benar-benar menginginkannya sampai tak bisa tidur.

Dirinya termenung di depan jendela, memandangi langit malam yang seharusnya menjadi jam nya tidur. Haruto belum kembali sejak katanya beberapa perampok mengacau di desa-desa. Haruto harus mengurus banyak hal, bukan hanya dirinya. Jadi mau tak mau Doyoung harus rela jika sewaktu-waktu dia diduakan dengan rakyat. Haruto kan Raja.

Biasanya kalau seperti ini, Doyoung akan terlelap lebih dulu, lalu menemukan dirinya terbangun dengan Haruto yang memeluknya erat. Tapi kali ini berbeda. Doyoung ingin menunggu Haruto.

Malam semakin larut dan dingin. Doyoung masih setia di tempatnya sampai sebuah selimut membungkus tubuh Doyoung sepenuhnya. Tanpa menoleh, pelukan tangan besar dari belakang sudah cukup jelas.

"Kenapa belum tidur?" Tanya nya. Haruto sedikit lelah, ia menyandarkan kepalanya pada pundak permaisuri. Menghirup aroma manis dari Doyoung seperti tengah mengisi energinya kembali.

"Menunggu mu." Jawabnya singkat sebelum sang Raja membawanya menuju ranjang. Haruto membaringkan tubuh Doyoung perlahan.

"Lain kali kalau menunggu ku jangan berdiri di depan jendela. Selain angin malam, manusia juga berbahaya. Mengerti kan?" Ucap Haruto. Ia perlahan melepas jubah kebesarannya. Mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur di depan Doyoung. Jelas sang permaisuri memalingkan wajah karena malu. Padahal Doyoung sudah pernah melihat semuanya. Tapi rasanya tetap sama.

"Tapi kau tidak berbahaya tuh."

"Maksudnya, selain aku!"

Doyoung mengangguk, ia merentangkan tangan ketika Haruto hendak berbaring di sebelahnya. Menjadi Raja selain melelahkan secara fisik juga melelahkan secara batin. Untung saja saat dia kembali ke kamar ia disuguhkan dengan senyuman manis yang tak sebanding dengan lelahnya.

"Kau lelah sekali ya?" Doyoung mengusap-usap surau sang Raja. Kegiatan ini hanya boleh dilakukan oleh Doyoung. Memangnya ada yang berani mengusap rambut sang Raja? Kalau ada kalian harus berhadapan dengan permaisuri.

"Ya." Jawab Haruto singkat karena perasaan nyaman ketika tangan itu terus bergerak teratur mengusap rambutnya. Matanya mulai terpejam.

"Aku ingin bicara. Tapi besok saja."

Mata Haruto kembali terbuka. Meskipun agak berat, ia melihat bagaimana manik bulat sang permaisuri masih terpancar cerah.

"Bicara saja aku dengarkan." Ucapnya dengan suara agak parau.

Doyoung menggeleng. "Besok saja, kau mengantuk. Lagipula yang ingin ku bicarakan bulan sesuatu yang penting."

"Aku ingin mendengarnya sekarang." Haruto sepenuhnya memberikan atensinya pada sang permaisuri. Walaupun lelah, ia sudah hapal jika Doyoung itu suka sekali bercerita sebelum tidur. Atau sang permaisuri tidak akan bisa tidur.

"Menurutmu, bayi kita laki-laki atau perempuan?"

Di zaman ini belum ada alat canggih yang bisa digunakan untuk melihat jenis kelamin sang bayi. Doyoung jadi penasaran. Walaupun ia tak mempermasalahkan jenis kelamin sang bayi, tapi menurutnya ia perlu bertanya pendapat Haruto.

Haruto seperti sedang berfikir sebentar. Membiarkan rasa penasaran Doyoung bertahan sepersekian detik sebelum tersenyum.

"Perempuan?" Ucapnya agak ragu. "Terserah tuhan saja lah, lagipula siapapun yang terlahir dari mu adalah anakku." Tambahnya.

Diluar jawaban yang diperkirakan Doyoung.

"Bukankah seharusnya laki-laki? Kau bilang kau butuh penerus." Tanya nya.

Haruto menggeleng dengan mata tertutup. Ia mengantuk sejujurnya. Tapi topik pembicaraan kali ini lumayan menarik.

"Kerajaan yang butuh penerus, bukan Aku." Haruto kembali membuka matanya walaupun berat. Ia takut tiba-tiba ketiduran.

"Kau mengantuk ya?" Pertanyaan Doyoung dibalas kecupan singkat oleh sang Raja di bibir.

"Menjadi Raja itu berat, sayang. Dulu ambisi ku memang besar. Aku ingin anak-anak ku yang mewarisi tahta ku. Tapi setelah kau hamil, entah kenapa aku tak ingin putra ku menanggung beban seberat diriku. Jika dia perempuan Aku akan memberikan banyak kasih sayang. Lalu sampai tiba dimana kita berdua mengantarnya kepada suaminya. Kalau bisa anakku jauh dari hiruk-pikuk kerajaan. Disini hanya berisi orang-orang yang penuh kepalsuan." Ucapnya serius tapi senyuman kecil tersungging ketika dirinya membayangkan menggendong seorang putri cantik yang kepala kecilnya selalu penasaran dengan sesuatu.

"Tapi jika dia laki-laki aku tidak masalah. Asalkan lahir dari mu, aku akan menyayanginya sebanyak yang aku bisa. Akan ku jadikan dia tangguh agar saat kita tak berada di dekatnya dia mampu bertahan dengan dirinya." Jelas sang Raja. Rasa kantuknya perlahan hilang setelah dirinya banyak bicara.

"Haruto, jika dia laki-laki kau harus berjanji terus berada di sisi nya. Dia pasti kesulitan kalau sendirian."

"Lalu kau bagaimana? Kau ingin meninggalkannya?"

Doyoung terdiam. Seharusnya ia lantang menjawab tidak. Sejujurnya ia masih disini setelah mengetahui hal yang menjadi tujuannya datang kemari saja sudah agak aneh. Mungkin karena Doyoung sedang mengandung putra dari Haruto. Jadi Doyoung bisa pergi sewaktu-waktu.

"Aku sudah bilang aku akan menyusul mu kemana pun kau pergi kan? Jadi mari pastikan anak kita kuat terlebih dahulu sebelum pergi bersama. Bisa kan sayang?"

Doyoung tidak bisa menjawab. Ia menyembunyikan wajahnya pada dada bidang sang Raja. Pun Haruto merasakan dada nya basah. Sang permaisuri pasti menangis.

Kenapa bahasan Doyoung akhir-akhir ini tak jauh dari kata pergi.

"Kau selalu bilang kau akan pergi. Memangnya kau akan pergi kemana? Jangan sendirian, harus pergi bersama ku." Haruto mengusap lembut punggung sang permaisuri.

"Haruto, Aku ingin menikah dengan mu."

Balasan sang permaisuri membuat Haruto mengernyit.

"Maksudnya? Kita kan sudah menikah."

Doyoung melepaskan pelukannya. Ia menyeka air matanya sendiri. Wajahnya memerah, inilah yang membuatnya resah hingga tak dapat tidur.

"Kita ulangi lagi, aku ingin menikah lagi dengan mu. Sebagai dua orang yang saling mencintai. Ini permintaan bayi. Bisa kan Haruto?"

Haruto sejujurnya bingung. Mengapa tiba-tiba Doyoung ingin menikah dengannya.

"Maksudnya bagaimana? Kau mau kita mengulangi pernikahan begitu?"

Doyoung mengangguk ribut. Itu yang ia inginkan. Ia ingin merasakan pernikahan dengan Haruto.

Memangnya bisa?

Tapi ingin menolak tidak bisa. Haruto melihat binar cerah dari sang permaisuri. Pada akhirnya ia menghela napas lalu mengangguk.

"Baiklah, kita akan menikah lagi."

****




Kuberikan uwu-uwu sebelum nabrak gunung es hehe...

Ohiya, kalian nemu cerita gaje ini darimana sih?

REWRITE THE HISTORY | HARUBBY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang