XXXIV

6.8K 642 59
                                    

PAGI buta Clarissa sudah bangun, bibirnya melengkung kebawah menatap bekas kemerahan yang penuhi kulit dadanya. Ia sangsi kalau Marco itu keturunan vampir. Hobinya menggigit dan menghisap. Tangannya menggosok-gosok bagian kemerahan lain, meskipun tahu mau digosok sampai lecet juga tak akan hilang. Ia membuka tas make upnya lalu mengaduk-aduknya untuk mencari botol berisi concealer.

"Anjing gak kebawa!" Katanya kasar.

Kaki ramping itu beralih berjalan menuju walk in closet, membuka lemari yang sudah jadi hak miliknya sejak pakaian Marco digeser. Decakan kasar lolos lagi dari bibirnya.

"Turtleneck gue kemanaa!" Jeritnya kesal. Ia mendesah pasrah menatap segala kegilaan kekasihnya yang tercetak jelas beradu dengan kulit bersihnya. Dengan langkah tergesa ia hampiri Marco yang masih pulas. Suara dengkuran nyaring buat Clarissa makin geram. Satu pukulan keras mendarat di pantat yang hanya dibalut kolor bermotif bintang-bintang.

Tubuh kokoh itu menggeliat sedikit. Satu pukulan tak akan mengusik pria itu sama sekali, sebab kini Clarissa harus melayangkan pukulan kedua. Ah maksudnya yang kedua adalah tendangan. Suara kaki beradu dengan bongkahan milik Marco terdengar keras. Clarissa yakin pasti akan meninggalkan bekas disana. 

Pria itu bergerak, matanya perlahan terbuka saat merasakan nyeri di bagian bokongnya. Clarissa bersiap berkacak pinggang, matanya mendelik lebar siap memaki kekasihnya. Lalu saat mata sendu itu beradu dengan mata lebar miliknya bibirnya tersenyum sinis.

"Sudah bangun? Enak tidurnya?" Marco meringis, dari nada bicaranya terdengar penuh kekesalan. Pria itu mengusap matanya pelan untuk sadarkan diri dari rasa kantuk. Dia baru beres jam 2 pagi, wajar dong masih ingin bermalas-malasan? Toh dia tak ke kantor kok tapi menemui vendor di luar kantor. 

"Morning sunshine, give me a kiss?" Rayunya sambil menahan rasa sakit di bokongnya. Clarissa memutar bola matanya malas.

"Semalaman belum puas? Lihat ini apa yang udah bapak buat!" Jeritnya sambil mendongakkan kepalanya agar pria itu mudah melihat bekas kemerahan sepanjang lehernya.

Marco meringis. "Sorry?" 

Clarissa mendengus keras seperti banteng yang siap menyeruduk kain merah sang matador. Maaf juga percuma, sebab amarahnya sudah ke ubun-ubun. 

"Gimana aku ngantornya?" tuntutnya sambil berkacak pinggang. Pria itu benar-benar melupakan rasa nyerinya, ia bangkit untuk merayu kekasihnya yang tengah merajuk.

Tangan di pinggang itu ditariknya mendekat. Lalu berganti dengan tangan kekar Marco. Melingkar sempurna mengisi lekukan pinggang Clarissa. Pria itu menatap wajah gadisnya lekat.

"Pakai concealer babe." katanya lalu mengusap pelan pinggang Clarissa. Dari bawah tampak jelas bagaimana mahakaryanya yang baru saja dia ukir semalam. Gila, dirinya sendiri pun merutuki nafsunya sendiri. Kini ia berharap walk in closet adalah titik buta dari kamera pengawas yang terpasang di sudut kamarnya.

"Gak bawa!" jawabnya ketus.

Kecupan lembut dibubuhkan di perut berlapis kain satin tipis. Cukup menggelikan untuknya. Ia menggeliat mendorong kepala kekasihnya sedikit. Demi tak terjadinya adegan dewasa di pagi hari.

"Turtleneck?" Clarissa benar-benar kesal sekarang.

"Gak ada, cuma ada pakaian tidur yang selalu kamu beli setiap ngemall. Demi Tuhan Marco I really hate you!" geramnya keras. 

"I love you too babe. Oke mau wfh? Gak perlu ngantor, saya yang urus." Gadis itu memalingkan wajahnya, menyembunyikan senyuman tipis yang mengembang dengan sempurna sebab tawaran bekerja dari rumah. Bekerja dari rumah sama saja artinya dengan 10% kerja dan 90% istirahat. 

A Night To RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang