LV

5.8K 563 48
                                    

CLARISSA resmi menjadi tahanan rumah. Dalam artian menganggur, dilarang kemana-mana oleh sang suami. Wanita itu merasa diakali oleh suaminya, sebab hanya diberi waktu keluar saat bersama Marco. Selain dengan Marco, tidak boleh. Lalu apa yang ia lakukan selama dikurung dalam sangkar mewahnya? Jawabannya satu. Menghamburkan uang Marco.

"Please, aku pengen banget. Boleh ya?" Marco menghentikan gerak tangannya, lalu menoleh menatap Clarissa kejam.

"Nggak," putusnya sambil kembali jatuhkan atensi pada dasi yang kurang rapi. Sementara wanita dengan perut besar itu merajuk, meletakkan kedua lengannya pada sandaran sofa kamar berharap dibujuk oleh si tampan.

"Aku berangkat, ya?" Clarissa menoleh, matanya terbelalak saat Marco benar-benar tak mengindahkan keinginannya.

"Mau ikutt! Kenapa sih gak boleh? Kamu punya selingkuhan ya di kantor?" Marco hela nafasnya kasar, lalu bergerak hampiri ibu hamil yang masih mengerucut sebal. Bibirnya ia kecup, sebagai tanda bahwa dia masih peduli pada segala pikiran buruk istrinya.

"Apa sih, ngaco. Aku nanti gak ke kantor, ketemu client. Nanti kamu capek karena ngikut jalan mulu, aku ngecek proyek juga loh babe. Di rumah aja ya?" Clarissa tetap cemberut dengan tangan yang makin naik saja di depan dada.

"Tahu gitu aku pulang ke Semarang aja kemarin ngikut mami," adu si cantik. Marco terkekeh, kembali kecup bibir yang mengerucut sempurna, bedanya kini ia beri sedikit lumatan. Clarissa terkesiap, tak bersiap pada serangan kecil pria itu. Kini tubuhnya bahkan disangga oleh lengan yang makin kekar sebab intensitas berolahraga Marco kian meningkat—biasa pdkt dengan papa baru.

Marco memilih melumpuhkan pusat kesalnya Clarissa, dengan buat ibu hamil itu lupa pada rasanya. Toh akan lebih mudah untuk atasi percik nafsu si cantik dibanding amarahnya. Kini wanita itu tersudut pada titik yang sulit untuk ia putuskan, sebab tubuhnya jelas inginkan suaminya untuk menetap. Jemarinya merayap masuk menelanjangi kemeja yang tadi tertata rapi membalut tubuh kekar Marco. Lalu tangannya menggerayang mengusik nakal puting yang belum terkontaminasi nafsu. Clarissa penyebabnya, hingga Marco ikut mendorong kepala yang hanya seukuran telapak tangannya. 

Ciumannya kian erotis, meningkat seperti tempo musik klasik yang hampir capai coda. Lalu si cantik memutusnya pertama, menanggalkan sisa saliva yang basahi bibir tipis suaminya. Morning kiss tak mungkin sepanas itu, jelas keduanya inginkan lebih. Bahkan ratusan kali sentuh tubuh satu sama lain tak akan cukup untuk mereka berdua.

"Oke kalo kamu gak mau bawa aku, kerja dari rumah aja." Negosiasinya pada Marco harusnya berhasil. Sayangnya Marco lebih tertarik untuk menuntaskan nafsu yang terjeda, bibirnya kembali menyapu bibir bengkak untuk menutup permainannya. Lumatannya lembut lalu dilepas perlahan.

Marco kembali pada kesadarannya, menyatukan kembali kancing kemejanya dan mengusap lembut bibir sang istri, "Sorry gak untuk kali ini babe. Kecuali kamu mau pumpkin gak bisa hidup enak lagi, aku akan tetap di rumah." 

Clarissa mencebikkan bibirnya setelah rencananya gagal total. Matanya beralih pada jendela kamar yang menghadap halaman depan rumah. Sebuah mobil yang sangat ia kenal sudah terparkir disana, meninggalkan bunyi berisik yang buat Marco mengernyit heran. Tamu siapa kali ini?

"Kamu janjian sama siapa?" Clarissa menyengir lebar. Tubuhnya selangkah bergerak peluk suaminya dengan kecupan ringan yang ia labuhkan di garis rahang tegas milik Marco.

"Kalo aku pergi sama mami boleh?" Marco terbelalak, pasalnya maminya bilang masih berada di luar kota semalam.

"Kemana? Kok aku gak tahu mami udah di Jakarta?" 

"Udah bilang kali, kamu yang gak fokus. Udah sampai tadi tengah malam." Salahnya memang bekerja sambil menelepon, alhasil banyak pesan yang dia lewatkan. Lalu rencana perginya sang istri pagi ini? Jangan-jangan juga sudah disampaikan via telepon semalam?

A Night To RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang