LVI

5.5K 543 16
                                    

CLARISSA tercenung menatap punggung kurus yang meringkuk di atas ranjang. Beberapa detik kemudian ia membalikkan badan, memeluk erat suaminya dengan wajah yang ia sembunyikan rapat. Marco mengerti, ia bawa wanita itu keluar setelah menutup pintu mewah itu pelan. Keduanya duduk menghampiri Lius yang tengah menimang bayinya.

"Yus, mau gue cariin orang buat bantu-bantu di rumah?" Lius tersenyum tipis lalu menggeleng.

"Nyokap gue sama Sharena akan stay sebulan buat bantuin kok. Aman Mar." Clarissa masih terisak pelan dalam pelukan suaminya.

"Atau mau gue temenin bawa Sharena ke dokter?" Tanyanya lagi hati-hati." Lius menggeleng lagi. Lalu suara rengekan pelan dari bayi dalam gendongan Lius terdengar lirih, disusul teriakan keras dari dalam kamar disertai tangisan pilu. Clarissa makin menutup telinganya rapat, berusaha meredam suara yang membuat hormon dalam dirinya meluap.

"Mar, sorry." Marco meringis, apa yang dia takutkan terjadi. Clarissa yang berhati lembut terlebih pada seseorang yang berperan penting, tak akan sampai hati untuk dihadapinya.

"Yus, gue balik dulu deh kayanya. Sorry gak bisa lama-lama," ucapnya ragu.

"No, it's okay. Gue paham, Clarissa juga harus istirahat. Gue harus tidurin anak dulu baru ngurus maminya." Marco terhenyak, matanya menatap Lius iba. Bukankah seharusnya mereka bergembira dengan masa-masa menjadi orangtua baru?

"Gue dan Clarissa ikut berduka ya Yus. Lo yang kuat, setidaknya kalo mau ngeluh jangan di depan Sharena. Ke gue aja." Lius tersenyum tipis.

"Iya Mar, gue bersyukur banget setidaknya masih ada yang bisa diselamatkan diantara anak-anak gue. Sharen sedih banget, bagaimanapun juga dia ibunya. Ikatan batinnya lebih besar daripada gue. Doain ya, supaya kita bisa ngelewatin masa duka ini." Marco tersenyum lalu mengangguk pelan. Perlahan Clarissa mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis pada bayi yang masih menangis.

"Boleh gak saya bantu gendong Pak?" Marco melepas pelukannya, sedikit terkejut pada perubahan sikap Clarissa. Ia biarkan istrinya mengangkat tangannya tinggi untuk gapai bayi perempuan dalam gendongan Lius. Lius pun berikan bayi itu pada Clarissa.

Ia menimangnya pelan, dengan tepukan kecil di bokong bayi itu. Bibir Clarissa menipis menahan air mata yang akan keluar lagi. Kalau ditanya siapa yang harus dikasihani, Clarissa sepertinya tak bisa jawab. Ini cobaan untuk Lius dan Sharena. Bahkan mungkin Clarissa tak akan bisa menghadapinya. Jika bayi yang ia bawa selama berminggu-minggu, dicintai dengan dalam oleh dia dan suaminya, diharapkan dengan penuh sukacita tiba-tiba pergi tanpa sempat disapa. Clarissa tak akan bisa.

Clarissa lupa, kapan dia pernah rasakan perih sesakit itu. Tapi hanya dengan melihat kacaunya Sharena, dia pun rasanya sekarat. Bukan masalah siapa Sharena untuknya, tetapi hati sebagai calon ibu. Clarissa pun akan sama terpuruknya dengan kawannya.

Bahkan hingga bayi mungil itu terlelap dengan dengkuran halus, Clarissa masih bayangkan bagaimana dengan kembarannya? Apakah benar di surga sana bahagia?

"Pak, adeknya sudah tidur. Maaf gak bisa banyak bantu," ucap Clarissa lirih. Lius tersenyum tipis disertai bisikan terimakasih atas bantuannya. 

Mereka sama-sama tak ada yang banyak bicara setelahnya. Baik Clarissa pun Marco hanya diam. Sepanjang masanya berada di rumah Lius termasuk saat perjalanan pulang. Marco tahu diri untuk menjaga perasaan istrinya, mungkin Clarissa tengah ingin menyelami sisi lemahnya. Dan Clarissa pun kebetulan memang tak bersuara. Bahkan hingga petang, Clarissa hanya merapatkan tubuhnya pada Marco. Memeluk pria itu erat sebab rasakan dingin tak hanya di tepi tubuh, tetapi jua intinya.

"Sayang, gimana kalo Sharena terus kaya gitu?" Suara lirih Clarissa memecah heningnya malam.

"Hus, jangan ngomong jelek. Dia cuma lagi sedih, pasti akan balik kaya biasanya," ucap Marco, meski sesungguhnya dia sama ragunya dengan Clarissa. 

A Night To RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang