XLVII

6K 541 58
                                    

MARCO menatap seorang wanita di atas ranjang dengan tajam. Wajahnya tampak kacau dengan sisa air mata yang masih membasahi pipinya. Bibirnya masih mencebik tanda sesal akan amarah prianya.

"Maaf." Gumamnya lirih. Marco masih belum gentar, wajahnya masih keras dengan gurat emosi pada lekukan di keningnya.

"Maaf sayang, gak diulang lagi." Cicitnya makin menipis.

Marco berdecak kesal, kemudian beranjak dari tempatnya tak mau lama-lama membuang kalutnya pada Clarissa. Wanita itu tengah hamil, bukan hal baik terus membuatnya berada dalam suasana hati kacau.

"Janji?" Suara lembut Marco malah membuat wanita itu menangis lagi, meneteskan air mata yang tadi sempat mengalir deras.

"Jangan nangis terus, janji apa nggak?" Tanyanya sekali lagi lebih tegas.

"Kamu jangan marah-marah makanya!" Selalu, Clarissa dengan keinginannya untuk menang.

"Iya gak marah lagi." Wanita itu mengerucutkan bibirnya lalu meraih tangan pria itu dan memeluknya erat.

"Aku cuma iseng, ini bisa dihapus." Marco menghela nafas, mengusap pelan kepala istrinya untuk meredakan tangisnya.

"Jangan isengin aku masalah kaya begini lagi. Kamu lagi hamil, aku gak mau isengnya kamu bikin kamu bahaya." Clarissa menangis lagi dengan suara nyaring.

"Ini cuma tempelan sayang~ bisa ilang, jangan ngomel lagii~" Marco meringis. Sepertinya jika diteruskan ia akan buat drama ini makin panjang. Pria itu memilih mengalah, tak mau menuntut wanitanya lagi atas dasar kelalaian menjaga diri. Entah apa jadinya kalau tato berbentuk setangkai bunga itu ternyata hasil sulaman jarum, mungkin Marco akan murka. Dia tak mau hal itu berefek besar untuk bayi dalam perut si cantik. Kalau tidak hamil, mungkin malah Marco yang lebih senang. Menyukai tato di atas pusar yang menambah daya tarik sang istri.

"Iya, udah diem." Wanita itu menggesekkan wajahnya pada ceruk leher Marco, mengambil nyaman disana sebab wangi maskulin yang menguar dari tubuh sang suami.

"Aku mau tato." Ucapnya lirih.

"Gak boleh." Buru-buru Clarissa melepas pelukannya, mendorong tubuh Marco pelan lalu menantang matanya.

"Belum selesai ngomong!" Makinya kesal.

"Tetap gak boleh, kamu lagi hamil jangan aneh-aneh."

"Mau kamu yang ditato ih maksudnya. Bawel banget belum selesai ngomong keburu marah." Dumalnya kesal. Marco menganga, memangnya tato ularnya belum cukup apa? Itu saja masih Marco sesali sampai saat ini, sakit.

"Nggak ah, sakit tahu. Lagian aku udah ada tato kok." Clarissa mencebikkan bibirnya.

"Apaan tato ular gak jelas, gak bermakna." Marco terbelalak, ya walaupun memang benar dia asal minta digambarkan ular saat sedang stress dulu.

"Ayo dong, nanti aku sayang-sayang terus deh. Aku cium-cium setiap malam tatonya." Pria itu tersenyum nakal.

"Kalo tatonya ada di si adek, dicium beneran ya tiap malam?" Rayunya sambil mencolek dagu Clarissa.

"Ya kalo kamu berani gak masalah, tapi full ya si adek ditato?" Pria itu terbelalak. Bisa mati berdiri dia kalau sampai betulan ditato.

"Gak deh, makasih." Clarissa tertawa pelan.

"Makanya gak usah aneh-aneh. Jadi mau ya?" Marco menghela nafasnya lagi.

"Kamu dapet ide darimana sih tiba-tiba minta aku ditato?" Wanita itu tersenyum lebar.

"Massimo, ganteng banget. Aku pengen cium-cium tato di badannya. Tapi karena gak bisa makanya aku minta kamu tatoan." Marco mengernyit. Sialan memang Massimo, ingatkan Marco untuk tak memperpanjang masa langganan Netflixnya.

A Night To RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang