Epilog

11.2K 630 55
                                    

KEHIDUPAN jadi orang tua tak serta merta dikatakan mudah untuk Marco pun Clarissa. Masih banyak belajarnya, banyak pula salahnya. Kadang tangisnya Chloe malah jadi beban tersendiri untuk keduanya. Tak bisa dipungkiri, keinginan untuk bersenang-senang itu masih ada. Jiwa mudanya serasa belum habis. Termasuk malam itu. Katakanlah gila, tapi keputusan menitipkan bayi berusia 10 bulan pada Maminya rasanya adalah keputusan paling tepat yang keduanya ambil dalam bulan itu.

Kini mereka tengah bercumbu di sudut bar malam, dengan pakaian ala muda mudi yang lalai dari pengawasan orang tua. Saking miripnya, bahkan Clarissa sampai harus menunjukkan KTPnya. Entah apa yang ada di pikiran pasutri itu. Dari ratusan tempat di kota Jakarta ini, keduanya memilih menepikan tekanan batin di tempat itu. Berciuman layaknya orang yang tak kenal tempat, bahkan Clarissa berada di atas Marco tak peduli sekitar menelanjangi tubuh bagian atas sang suami. Tapi siapa yang akan terkejut? Ini Clarissa dan Marco, sepasang manusia yang nafsu duniawinya membumbung tinggi. Asal jangan ketahuan orang tuanya saja.

"Babe, kita pindah ke hotel aja." Dengan nafas putus-putus Marco menahan desahannya mati-matian begitu Clarissa menjilat lehernya sensual. Pertama dia tak mau istrinya menjadi tontonan, kedua dia tak cukup gila untuk pamer urusan ranjang di depan mata-mata laknat, dan ketiga Marco sudah habis kesabaran. Sumbunya sudah habis dilahap api asmara yang tak kunjung padam.

Sayangnya Clarissa masih ingin menikmati malam singkatnya dengan ditemani dentuman musik berirama kencang. Bahkan meski tanpa meneguk sedikitpun alkohol, rasanya dia sudah begitu mabuk. Setelah Marco meremat pelan bokongnya dan dia lupa siapa yang mulai dulu.

"Babe, please?" Clarissa mengangkat kepalanya, beralih pada sisi sofa yang kosong dan merapikan pakaiannya yang agak berantakan. Marco dibiarkan gila, sedangkan Clarissa sudah tampak normal. Apakah selalu begitu? Hanya wanita yang diberikan kendali atas hasrat menggebu itu? Marco sangat iri, sebab pria itu tampak kesulitan sembunyikan bulir-bulir keringat yang mulai deras menyusuri kulit wajahnya. Bukan demam, dan siapapun di sana paham penyebab dari wajahnya yang pucat digenangi keringat.

"Seriously? Kamu gak tanggungjawab?" Clarissa hanya mengedikkan bahu, lalu melahap kentang goreng yang tersisa di atas meja.

"Clarissa, ini kesekian kalinya kamu PHP ya." Wanita cantik itu menatapnya lurus sambil menjejalkan sebatang sedotan ke sela bibirnya, dan menyedotnya pelan. Marco makin menggila, sebab apapun yang bibir itu lakukan rasanya seperti menggodanya.

"Prada, aku akan kasih ijin untuk beli." Clarissa menghentikan sedotannya, menoleh dengan mata berbinar. Tapi itu bahkan tak ada dalam rencananya soal mencumbu suaminya seheboh tadi. Jadi ini bonus?

"Oke suami, let's go kita kuda-kudaan di hotel." Wanita itu langsung berdiri tanpa diminta dan Marco menghela nafasnya lega. Untungnya langsung disetujui. 

Keduanya segera berangkat menuju hotel terdekat, lebih baik lah dibanding hotel tempat pertama kali mereka terlibat setelah kejadian bar malam. Clarissa pun kini sepenuhnya sadar. Sama-sama melayang ketika saling mencumbu di atas ranjang hotel berukuran king size. Marco mencecap kembali bibir merah muda istrinya, sementara Clarissa sebagai penerima hanya pasrah direbahkan tanpa kehalusan. Bahkan saat dada diremas dengan begitu keras dia tak banyak protes, terus melumat bibir yang lebih tua. 

"Mmmhh babe kondom jangan lupa," sela Clarissa. Marco mengangguk, mencium titik sensitif istrinya lembut. 

Wanita berpakaian seksi itu didesak untuk terus bergerak hingga kepalanya menyentuh sandaran ranjang. Marco menyeringai, sebab jika kini Clarissa protes mau kabur gak akan bisa. Bibirnya menipis, tangannya menggapit dagu tirus istrinya.

"Kamu inget dimana pertama kali kita ciuman?" Clarissa mendesah, ketika Marco bermain-main menyentuh bagian di antara pangkal pahanya. Ia menarik nafasnya berat lalu mengangguk heboh.

A Night To RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang