XXVIII

7.2K 707 57
                                    

CLARISSA manyun saat tangannya ditarik-tarik maminya untuk menemani jalan di mall. Ini hari minggu, dia cuma mau rebahan di kamar. Papinya sudah pergi dengan Marco pagi tadi jam 7. Katanya mau ngegym, entah kenapa jam segini belum balik.

"Temenin Mami dong Clar. Kapan lagi loh mami punya temen belanja. Senyum dong." Clarissa cemberut, kakinya melangkah mengikuti maminya masuk ke sebuah distro.

Wanita itu bergerak bebas melihat-lihat kaos kekinian bernuansa gothic. "Mami kan gak suka yang serem-serem begini Mi, ngapain kesini?" Bisik Clarissa.

"Buat Papi. Udah ah kamu mending bantuin pilih. Papimu itu baju kalo gak sampai bolong juga gak akan cari ganti. Harus Mami yang beliin." Keluhnya sambil membolak-balik kaos berukuran jumbo.

"Mam, gimana kalo misalnya Clarissa menikah sama Marco?" Wanita itu tersenyum.

"Marco baik sama kamu?" Clarissa mengangguk.

"Dia kasar?" Gadis itu menggeleng.

"Seagama?" Clarissa mengangguk lagi.

"Kamu sudah kenal keluarganya?" Ragu-ragu Clarissa menggeleng.

"Cuma maminya?" Christa tersenyum.

"Jangan buru-buru Clar. Kenalan dulu sama keluarganya." Clarissa mengangguk setuju. Siapapun pasti tak akan segegabah itu untuk menikah. Bahkan direstui pun tak cukup untuk Clarissa. Soal masa lalu Marco, sepertinya tak sesederhana itu.

"Mami, dulu papi punya mantan?" Christa menghentikan gerakan tangannya, ia menoleh menatap putri bungsunya.

"Banyak" Clarissa meringis. Bukan rahasia lagi kalau papinya dulu adalah seorang Casanova.

"Maksudnya mantan yang buat mami cemburu karena orang itu yang paling papi sayang." Yang lebih tua terkekeh pelan.

"Kenapa? Marco begitu?"

"Bisa dibilang iya dan tidak sih Mam. Mami tahu Sharena? Influencer muda yang lagi terkenal itu." Christa mengangguk pelan.

"Dia mantannya Marco. Mantan terindah."

"Wow, berat juga ya sainganmu Clar. Terus apa masalahnya?" Tanyanya lagi.

"Menurut mami kalau seseorang masih benci sama mantannya itu karena dia sebenernya masih sayang gak sih Mam? Karena sebenarnya dia masih mau sama orang itu, makanya secara gak sengaja dia selalu ingat dengan dalih benci padahal sebenarnya belum siap ngelepasin aja."

"Pindah tempat dulu yuk, kita ngobrol di tempat yang lebih nyaman." Clarissa menurut. Keduanya berjalan lalu berbelok pada coffeeshop sederhana di salah satu gerai.

Mereka duduk berhadapan. Clarissa tersenyum saat seorang pramusaji membawakan nampan berisi pesanan mereka. Gadis itu mengusap pelan cangkir berisi coklat panasnya. Matanya menatap buih putih di tengah pusaran adukan sendok kecil. Kepalanya seolah ikut berputar. Lalu sebuah sentuhan di tangannya buat gadis itu tersentak.

"Soal pendapat kamu itu ada kemungkinan lainnya Clar. Seseorang masih benci sama mantannya itu bisa jadi karena luka yang ditinggalkan terlalu sempurna. Dalam artian kecewanya sudah gak ketolong. Buat sebagian orang yang lemah, pasti dia akan memilih terus berputar dalam kesakitannya. Terus menyalahkan masa lalu untuk memvalidasi perasaan sakitnya sampai saat ini. Tapi untuk sebagian lainnya, dia mungkin akan terus ingat luka itu untuk dijadikan pelajaran supaya gak terluka lagi. Efeknya apa? Dia jauh lebih posesif sama dirinya sendiri, benteng yang dia bikin akan makin tinggi, lebih selektif dan jelas perlakuannya ke orang baru gak akan sesantai dulu." Clarissa menarik alisnya bingung.

"Bedanya, yang lemah akan terus berharap bisa memperbaiki masa lalu meskipun dia tahu artinya jatuh ke lubang yang sama. Tapi untuk sebagian lainnya akan berusaha membuka lembaran baru, namun dengan daftar yang harus dihindari soal sakit hatinya itu. Lagipula gak bisa dipungkiri mantan itu pernah jadi bagian terindah dalam hidup. Kamu pun begitu, kan? Kamu pasti pernah berharap bisa balikan sama Damasta mantan terindahmu. Tapi gak kamu lakukan, kenapa?" Gadis itu cemberut.

A Night To RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang