XV

8.2K 757 66
                                    

SEMALAM Marco tidur di sofa luar lagi. Clarissa sampai bingung mengusirnya, pasalnya pria itu cuma diam. Bahkan tak ada rayuan untuk tidur bersama, padahal semalam Clarissa tidur sendiri. Bukan berarti Clarissa mau tidur sama Marco ya! Tidak, Clarissa tak akan mau. Kecuali dibelikan sesuatu.

Gadis itu mengecek keadaan Marco. Pria itu masih tertidur pulas. Tapi yang menarik perhatian Clarissa adalah wajah Marco yang memerah, lalu bibirnya yang pucat. Ia berdecak pelan, tangannya terulur ditempelkan di kening Marco.

"Sakit betah banget, perasaan kemarin udah mendingan." Clarissa beranjak, meraih bungkusan berisi plester pereda panas yang sengaja ia letakkan di atas meja depan TV. Niatnya biar Marco rajin ganti plesternya sendiri, tapi dasarnya cowok manja bungkusan itu tak disentuh sama sekali.

Pelan-pelan Clarissa tempelkan di kening Marco, lalu memijat kepalanya pelan ketika pria itu tampak terusik. Berkat kelembutan hati Clarissa, gadis itu putuskan untuk kerja dari rumah. Kesempatan kan.

"Kalo Marco maksa gue ngantor, gue pake alasan mau ngerawat dia. Pasti itu orang bakal ijinin." Clarissa terkikik geli. Ia melenggang ke dapur, membuka lemari pendinginnya lalu mengeluarkan makanan cepat saji andalannya. Tak lain dan tak bukan, mi instan!

Diluar sedang hujan, makin menambah alasan Clarissa untuk tak keluar apartemennya. Bekerja sambil bergelung dalam selimutnya yang hangat tentu lebih menarik. Atau mungkin malah menghangatkan diri dengan Marco? Gadis itu menggeleng cepat, menepis jauh-jauh ide yang terlintas dalam benaknya. Peletnya Marco mulai bekerja.

Clarissa tersenyum senang setelah mengaduk mi dalam panci. Namun senyuman itu luntur saat ia dengar suara batuk dari arah ruang TV. Ia menghela nafas kasar, lupa ada satu nyawa yang harus ia beri makan juga. Tangannya meraih bungkusan mi instan lain. Terserah Marco makan atau tidak yang penting Clarissa sudah berbaik hati memasakkan menu andalannya. Mi rebus soto, ditambah tauge, sawi hijau, potongan cabai rawit, telur, dan kornet yang ditumis dengan bawang bombay.

Selesai berkutik di dapur, Clarissa mengangkat sebuah nampan berisi mangkuk mi instan dan secangkir teh lemon madu. Ia letakkan di depan meja TV. Marco jelas tampak menggigil, Clarissa tentu tak mau ada penemuan mayat bosnya di apartemennya. Maka gadis itu memutuskan untuk memindahkan Marco.

"Bapak, Pak. Bangun yuk?" Panggil Clarissa sambil menggoyangkan lengan Marco. Pria itu masih memejamkan matanya.

"Pak Marco, sarapan yuk?" Masih tak bergerak.

"Bapak pindah ke kamar saya dulu aja yang lebih nyaman." Marco masih diam. Clarissa menggigit bibir bawahnya. Takut pikiran buruknya benar terjadi. Akhir-akhir ini tengah marak DBD, jangan sampai Marco sakit lalu meninggal. Ah pikirannya terlampau kacau.

Cara terakhir terlintas di pikiran Clarissa. Bukan ide yang baik untuknya namun patut dicoba.

"Bapak kalo bangun saya kasih ciuman deh di bibir." Cicit Clarissa nyaris tak terdengar jelas. Kedua kelopak mata Marco terbuka lebar, wajahnya masih datar. Tampak sekali sedang tak sehat.

"Gitu aja bangun!" Protes Clarissa. Marco menatap Clarissa sinis. Ia berdiri membawa nampan makannya lalu membawanya masuk ke kamar Clarissa. Dia dengar semuanya, tentu Marco akan bertingkah sedikit mandiri dari biasanya.

"Dih masih ngambek." Clarissa berdecak kesal. Ia urungkan niatnya untuk makan. Bayi besar itu perlu dia urus terlebih dahulu.

"Ck untung duitnya banyak, jadi gue gak sebel sebel amat nolonginnya." Gumamnya.

Marco melirik pintu kamar Clarissa yang dibuka. Si pemilik kamar berdiri disana dengan wajah kusut. Pria itu berdecak, pagi-pagi disuguhi pemandangan muka cemberut. Ia memilih abai dan fokus menyesap teh madu yang melegakan tenggorokannya.

A Night To RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang