Suasana lapangan basket di GOR Soemantri Brodjonegoro begitu gegap-gempita sore ini. Sorak-sorai menyambut kemenangan tim basket SMA Pelita atas tim basket SMA Persada, dengan skor 69:47. Para penonton pun turun dari tribun demi memberikan ucapan selamat kepada tim juara.
"Kita turun juga, yuk, Ros!"
Rossa menoleh, Dinda sahabatnya terlihat begitu bersemangat. Dengan ceria ia bangkit dari kursi tribun, satu tangannya sudah menarik lengan kiri Rossa. Refleks Rossa menengok sejenak pemandangan di bawah sana, mengamati suasana. Sial! Tatapannya malah bertemu dengan orang itu. Buru-buru ia membuang muka.
"Males, mau langsung pulang aja!" sahutnya seraya menatap Dinda.
"Yah, kok langsung pulang?" balas Dinda dengan ekspresi kecewa di wajahnya. "Kita salamin dulu mereka, kayak yang lain."
"Lo aja deh, gue tunggu disini!"
Sambil mengernyit, Dinda memandang sahabatnya itu. "Jangan-jangan lo masih cinta Leo, ya?"
Rossa terbelalak. "Apaan sih? Siapa juga yang cinta dia?"
"Habisnya..., setelah gue ingat-ingat, lo selalu menghindar setiap kali harus berhadapan dengan Leo. Mungkin aja itu karena lo malu, karena sebenarnya lo masih cinta dia. Iya, kan?"
Rossa ternganga. "Logika lo aneh banget sih? Dimana-mana ni ya, kalau orang menghindar, dicurigai barangkali orang tersebut nggak suka atau malah benci dengan orang yang dihindari. Kenapa lo malah mikir kalau gue cinta dia?"
"Soalnya mustahil seorang cewek nggak suka bahkan benci sama Leo." jawab Dinda. "Secara Leo itu ganteng, baik, ramah, jago olahraga, charming, tajir, kapten basket, apalagi ya? Dan lain-lain yang bagus-bagus pokoknya!"
Rossa memutar bola mata. Sudah dia duga, semua cewek bakal berpikir demikian tentang Leo. Leonardo Louis Alexander. Kenyataannya bukan sekali ini saja ia mendengar komentar seperti barusan diungkapkan di hadapannya. Entah Dinda orang keberapa yang mengungkapkan hal tersebut.
"Buruan, yuk! Sebelum acara jumpa fans di bawah sana berakhir." kata Dinda seraya menarik tangan Rossa.
"Jumpa fans apaan?" sahut Rossa. Dengan terpaksa ia bangkit dari kursi, berjalan mengekori Dinda.
"Anggap aja begitu!" sahut Dinda, masih menyeret Rossa yang nampak enggan untuk turun ke lapangan. "Bentar lagi kan pasti panitia membubarkan massa, untuk acara serah terima piala. Gila, Leo keren banget ya? Ntar gue mau ambil fotonya ah, waktu lagi megang piala. Pasti keren banget!"
"Sekali lagi lo bilang dia keren, lo dapat piring cantik!"
"Gue maunya sih dapat payung cantik, soalnya lagi musim hujan."
Rossa memutar bola matanya malas. Semakin lama mereka semakin mendekati kerumunan siswa-siswi yang mengerubungi kelima anggota tim basket Pelita. Ia merasa takjub akan kelihaian Dinda yang mampu selip sana-sini, hingga keduanya sukses menerobos barisan terdepan.
"Hai, Leo! Selamat ya." kata Dinda, tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya ke hadapan sang kapten.
Leo membalas senyuman dan uluran tangan Dinda. "Makasih Dinda, biduan Pelita."
Seketika pipi Dinda merona.
Rossa justru mendesah jengah. Dinda memang siswi SMA Pelita yang berbakat dalam olah vokal. Suaranya merdu dan unik, sehingga sering memenangi kompetisi menyanyi antar sekolah. Tapi please deh, Dinda nggak pernah nyanyi lagu dangdut, ataupun mengikuti kontes dangdut. Kenapa disebut biduan?
"Dinda," panggil Leo.
"Ah, ya?" sahut Dinda, tersadar dari angannya yang sedang terbang ke langit ketujuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rise with Rose
RomanceAda pasangan mantan yang selalu jadi bahan gossip di sekolah baru Mawar. Namanya Leo dan Rossa. Leo sang bintang lapangan. Dan Rossa si cewek bayaran. Pelacur, begitulah Katy mempopulerkan nama Rossa di SMA elite Pelita. Gadis itu tinggal seatap de...