Rise with Rose 18

112 6 4
                                    

"Lo lihat Mawar tadi?" bisik Dinda di saat pendalaman materi Fisika tengah berlangsung.

Rossa meliriknya sekilas tanpa menyahut. Tangannya sibuk mencatat penjelasan Bu Tuti yang dituliskan di white board.

"Kenapa seolah-olah sikapnya kayak habis kepergok nikung pacar orang?" lanjut Dinda.

Rossa menyimak dengan tekun penjelasan guru di depan, mencocokkan dengan jawabannya sendiri, sambil sesekali melirik Dinda yang terus bicara.

"Leo bukan cowok lo, Din. Belum." balasnya lirih.

Meski ucapan tersebut membuat Dinda tersipu, namun ia melanjutkan, "Nggak usah becanda deh, Ros! Maksud gue itu elo. Leo kan cowok lo."

"Kayaknya lo amnesia," sahut Rossa. "Gue sama Leo udah putus sejak satu setengah tahun lalu."

"Siapa yang coba kau bodohi, Kisanak?" sahut Dinda, membuat Rossa tersenyum geli mendengar pemilihan katanya. "Semua orang juga tahu Leo masih suka sama lo. Walaupun, lo emang belagu, Ros."

Rossa melirik Dinda sebal. "Gue nggak belagu!"

Dinda mengabaikan protes sahabatnya itu. "Intinya Ros, sikap Mawar itu nggak terpuji. Ngapain dia jalan sama Leo di belakang lo?"

"Lo lagi kuliah PPKN? Terpuji, tercela." sahut Rossa, terkekeh.

"Ish, lo mah, nggak bisa serius." gerutu Dinda.

"Mereka mau ketemu Katy, Dinda. Bukan kencan seperti yang lo pikirin." ucap Rossa.

"Nenek-nenek juga tahu, Ros." balas Dinda, sebal.

"Coba ntar gue tanya neneknya Didot." balas Rossa.

"Nggak usah ngelawak, Ros!" sahut Dinda. "Mau ngomong sama Katy, ya, tinggal ngomong aja. Ngapain harus makan siang bareng? Mana gandengan tangan segala lagi."

"Bukan salah Mawar, Leo emang kayak gitu." sahut Rossa, seraya ingatannya berlari ke masa lalu.

"Kayak gitu gimana?" tanya Dinda penasaran. Ia sampai memperhatikan Rossa sepenuhnya.

"Ya, gitu," jawab Rossa sembari memindahkan catatan di papan tulis ke atas kertas soalnya. "Naluri melindungi sebagai cowok kali, ya. Jadi, dia refleks menggandeng setiap perempuan yang berjalan di sebelahnya."

"Oh ya?" balas Dinda, terkejut. "Gue baru tahu. Dan lo nggak cemburu, lihat dia gandengan sama cewek lain?"

"Cemburu. Tapi karena dia sering melakukan hal itu tanpa sadar, jadi ya udah." sahut Rossa, membubuhkan tip-ex di atas tulisannya.

"Pas pertama kali gue mergokin dia gandengan sama teman SMP, kami ribut besar. Yah, lo bayangin aja, dia menggandeng cewek paling cantik di sekolah--jalan ke parkiran. Mobil yang kami tumpangi hampir menabrak pohon waktu itu. Untung aja nggak sampai nabrak. Waktu itu Leo baru banget belajar nyetir. Mana belum punya SIM lagi tu anak!" lanjut Rossa.

Dinda tersenyum mendengarnya. Baru kali ini Rossa mau bercerita panjang lebar tentang masa lalunya bersama Leo.

"Terus, baikannya gimana?" tanyanya.

"Emm...." Rossa mengernyit, nampak mengingat-ingat. "Baikan sendiri kayaknya. Setelah mergokin dia gandengan sama cewek untuk kali kedua, ketiga,... akhirnya gue mengerti bahwa Leo memang seperti itu. Jadi ya udah, habis itu nggak pernah gue permasalahkan lagi. Tapi Leo nggak bakal menggandeng perempuan yang nggak kusuka. Ya, walau kadang kelupaan, refleks. Ya udahlah, gue maklumin aja."

"Rossa Dewi, Dinda Michelle!" terdengar teguran dari depan kelas.

"Mampus!" gumam Dinda.

"Suara gue kedengeran sampai depan ya?" tanya Rossa, khawatir.

Keduanya menatap ibu guru, bersiap menerima omelan dari beliau.

"Kepala sekolah memanggil kalian. Silakan menghadap beliau." kata bu Tuti.

Sambil mengernyit kening, Rossa bangkit dari kursinya bersama Dinda. Berjalan bersisian menuju ruang kepala sekolah, setelah berpamitan dengan sopan kepada bu Tuti. Dia lega karena bu Tuti tidak mendengar obrolannya dengan Dinda, namun penasaran mengapa kepala sekolah memanggil mereka. Rossa ingat SPP sudah dibayarkan, atau setidaknya itulah yang ia tahu dari walinya.

"Permisi, Pak." kata Rossa, memasuki ruang kepsek.

Mereka pun dipersilakan duduk di sofa dengan set meja kaca.

"Itu makanan kalian. Silakan dimakan." kata kepala sekolah.

Mereka pun saling berpandangan dalam tanya. Di atas meja memang terdapat tas kertas besar bertuliskan merk restoran fast food ternama. Begitu dibuka, di dalamnya berisi dua porsi makanan dan minuman. Tanpa bertanya, mereka menghabiskan makanan tersebut dalam diam, tahu benar siapa pengirimnya.

"Leo tahu aja gue kelaparan!" ujar Dinda senang, setelah melahap habis paket makan siangnya.

Sebaliknya, Rossa mendengus sebal. Leo selalu saja menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan apa yang dimauinya. Tak tanggung-tanggung, menggunakan kepala sekolah untuk membuat Rossa menerima pemberiannya.

Drrttt

Leo mengetuk layar yang menampilkan chat masuk di smartphonenya, mengabaikan guru geografi yang sedang mengulas materi di depan kelas. Tampak foto bungkus makanan fast food tersebar diatas meja, yang disertai pesan: Udah habis gue makan. Apakah sudah cukup memuaskan ego Leo Alexander The Great? Atau hamba harus bersujud mencium kaki Paduka?

Leo meringis membacanya. Kalimat yang sungguh Rose sekali, atau setidaknya demikianlah nama si pengirim tercatat di kontaknya. Dan jelas sekali nomornya baru saja dibuka blokirnya oleh yang bersangkutan. Satu kenyataan yang langsung membuat Leo senang, hingga ia mengabaikan sindiran pedas tersebut. Dengan lincah jarinya mengetikkan balasan: Nggak perlu cium kakiku, Sayang. Cium bibir juga aku udah senang.

Leo terkekeh, geli sendiri membaca kalimatnya yang gombal. Dan benar saja, detik berikutnya ia mendapatkan balasan: Ke laut aja, Le!

Lagi-lagi Leo terkekeh membacanya. Memilih untuk menyudahi perang kata mereka. Menyimpan smartphonenya kembali ke dalam laci. Menyadari bahwa Rossa yang sekarang bukanlah Rossa yang dulu. Rossa yang sekarang datar, dingin, keras kepala, sinis, pemarah. Ia kangen dengan Rossa-nya yang dulu: lembut, penurut, hangat. Meski, keduanya sama menariknya bagi Leo. Rossa yang kesal tampak menggemaskan di matanya.

Yah, bukan salah Rossa bersikap sinis terhadapnya. Sebab Leo memang menggunakan kepala sekolah untuk membuatnya makan. Tadi Dinda bilang mereka belum sempat makan gara-gara Rossa kekeuh bertahan di perpus. Dan Leo tahu, percuma mengirimkan makanan kepada Rossa. Sebab nasib makanan tersebut selalu berakhir di perut orang lain. Sejak mereka putus, Rossa seperti tak sudi lagi menerima barang-barang pemberiannya.

🌹🌹🌹

Rise with RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang