Bab 8

72 8 0
                                    

"Lepasin!" kata Rossa untuk kesekian kalinya, seraya memberontak dari cengkeraman tangan Leo di lengannya.

Sesampainya di halaman belakang sekolah yang sepi, Leo melepaskan cekalannya terhadap cewek itu, menghimpitnya ke dinding.

Dua minggu lalu ketika ia pulang ke rumah selepas insiden di hotel itu, ia mendapati apartemennya tak berpenghuni. Saat membuka lemari untuk mengambil baju ganti, barulah ia sadar bahwa teman serumahnya telah pergi entah kemana dengan membawa serta barang-barangnya.

Dalam dua minggu ini Leo begitu gelisah memikirkan kemana perginya cewek satu ini. Pada hari tersebut mereka memang sempat bertengkar, namun malam harinya hubungan mereka baik-baik saja. Maka Leo begitu bingung ketika Rossa tiba-tiba seolah lenyap ditelan bumi. Lalu pagi tadi dengan tak berperasaan ia muncul di sekolah, seolah tak terjadi apapun sebelumnya. Bahkan menurut kabar yang beredar, dia muncul di halaman sekolah bersama seorang pria dewasa entah siapa.

"Kamu kemana aja?" kata Leo, menyuarakan keresahannya selama dua minggu ini seraya menatap cewek itu tajam. "Aku nyari-nyari kamu tau nggak? Kamu ngilang gitu aja."

Bukannya merasa bersalah, cewek itu malah menantang matanya. "Aku nggak minta kamu untuk nyari aku."

Leo membelalak, Rossa berani mati rupanya! "Kamu,"

"Mau mukul? Silakan!" sahut Rossa, seraya memajukan wajahnya.

Kedua tangan Leo terkepal di dua sisi tubuhnya. Ia dikuasai emosi, dan Rossa sengaja menyulut emosinya. Okay, tenang Leo. Kendalikan dirimu. Batinnya mulai memberi instruksi guna meredam amarahnya sendiri. Mungkin ia memulainya dengan kurang bijaksana, memarahi cewek yang nampaknya juga sedang marah padanya. Walau ia belum mengerti benar apa alasan dibalik kemarahan cewek tersebut.

Dengan wajah tersenyum Leo berkata, "Kamu darimana, Babe? Aku nyariin kamu kemana-mana. Aku khawatir kamu kenapa-napa." Apalagi kamu lagi hamil, imbuh Leo dalam hati.

Cewek itu tersenyum sinis, "Nggak usah sok baik, Le. Kayak aku nggak tau aja seberapa temperamennya kamu."

Masih dengan tersenyum Leo berkata, "Jadi Baby, kamu kemana dua minggu ini?" Leo mengelus pipi cewek itu dengan punggung tangan kanannya. "Kamu udah bisa pulang kan? Aku temenin kamu ambil barang-barangmu."

Cewek itu mendengus, "Aku nggak akan pulang lagi."

Senyum Leo lenyap, elusan di wajah cewek itu pun terhenti. "Maksud kamu apa?"

Rossa tersenyum. "Maksudnya Leo," jawabnya, tak lagi menyebut Leo dengan nama kesayangannya. "Hari ini gue resmi pindah dari kehidupan lo."

"Kamu bilang apa?" tanya Leo menahan kekagetannya.

"Gue-lo, selesai sampai disini aja." jawab cewek itu masih dengan tersenyum.

Dengan geram Leo menekan bahu kanan Rossa ke dinding. "Lo mutusin gue?"

Cewek itu menjawabnya dengan senyuman yang tak kunjung surut dari wajahnya.

"Lo pikir semudah itu mutusin gue?" kata Leo. "Lo lupa pesan terakhir bokap lo sebelum meninggal?"

Dan Leo puas menyaksikan lenyapnya senyuman Rossa.

Ia berbisik lirih di samping telinga Rossa, "Lupa kalo di perut lo itu ada anak gue?"

Tiba-tiba saja Rossa tertawa, membuat Leo menarik kepala untuk memperhatikannya. Apa cewek ini mendadak sinting sekarang?

Lepas dari tawanya, sambil tersenyum Rossa berkata, "Tenang aja Le, anak kamu udah nggak di perutku kok."

Sekali lagi Leo terkejut mendengar pernyataan cewek di hadapannya.

"Minggu lalu aku aborsi." imbuh Rossa.

"Apa?" tanya Leo, meyakinkan pendengarannya. Nggak mungkin kan cewek sinting di depannya ini, Rossa, menggugurkan anak mereka?

"Kamu nggak mau punya anak kan, Le? Jadi aku mengabulkan harapan kamu itu." jawab Rossa enteng.

Leo menekan kedua bahu Rossa ke dinding, menatap tajam Rossa tanpa satu kata pun mampu keluar dari mulutnya.

"Marah?" kata Rossa.

Leo masih tak menjawabnya. Hanya memandang wajah Rossa lurus-lurus.

"Kenapa kamu marah, Le? Kamu juga nyuruh aku aborsi kan?" tanya Rossa lagi.

Leo tak dapat menyangkal ucapan itu. Namun entah mengapa kini ia dihinggapi penyesalan akibat pernah mengutarakan keinginan tersebut.

"Lepasin aku Le." kata Rossa dengan air mata menggantung di sudut kelopaknya.

Dan Leo dapat menyaksikan kehancuran di mata itu.

"Aku tau ini udah terlambat," kata Leo. "Tapi aku nyesel pernah nyuruh kamu aborsi. Kalau aku bisa balikin waktu, aku bakal biarin kamu lahirin anak kita."

Rossa tak menjawab, hanya menatapnya dengan sorot terluka.

"Kamu nggak perlu keluar dari apartemen. Kita bisa mulai dari awal lagi, Rose. Kita akan baik-baik aja. Aku minta maaf atas kelakuanku kemarin. Aku kalut Rose, aku nggak tau mesti gimana waktu denger kamu hamil." kata Leo lagi. "I promise, aku nggak akan ngulangin itu lagi. Okay, Babe?"

"Lepasin aku, Le!" sahut Rossa berusaha melepas cekalan Leo dari pundaknya.

"Baby, please...." mohon Leo.

"Aku udah muak sama kamu, Le. Aku nggak sudi tinggal sama kamu lagi." teriak Rossa.

"Oh, gitu? Karena sekarang kamu tinggal sama cowok yang nganter kamu tadi pagi, iya?" kemarahan Leo kembali. "Cepet juga, ya, kamu nemuin cowok baru! Atau jangan-jangan selama ini kamu selingkuh di belakangku?"

Rossa tersenyum miring. "Emang kenapa kalau aku selingkuhin kamu?"

"Kamu,"

"Gimana rasanya menuai karma buruk, Le?"

"Rossa, aku nggak pernah selingkuhin kamu, ya!" kata Leo penuh penekanan.

"Terus ngapain dua minggu lalu kamu dan Katy check in di hotel?"

Mata Leo terbuka lebar. Seolah tau isi pikirannya, Rossa berkata, "Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri Leon Sayang, kamu tidur dengan Katy."

"Gimana bisa?" tanya Leo, kaget. Cekalannya di bahu Rossa mengendur.

"Ngerjain tugas kelompok huh?" sindir Rossa dengan mata berkaca-kaca. "Malam itu kamu mabuk dan tidur sama Katy kan, Le?" tangis Rossa seraya memukuli tubuhnya. "Brengsek kamu, Le!"

Flashback end

🌹🌹🌹

Rise with RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang