05. Kembali

1.4K 65 0
                                    

Araya mengusap buliran keringat di dahinya. Ia mencari Nina yang hilang tanpa kabar. Kadang kali ia mendapati gadis itu termenung dengan air mata yang menetes.

"Araya, apa yang kamu lakukan. Kembali ke posko! titah ketua relawan yang menyisir area memastikan para relawan telah berada pada tempatnya.

Ternyata Nina telah kembali bahkan tertidur pulas di posko. Walau begitu Nina berharap cemas karena Araya terus menatapnya.

"Ara, istirahat. Ini udah malam." titah seorang perempuan yang lebih dewasa dibandingkan Araya.

Walau matahari masih menelungkup dan bersembunyi di balik awan. Araya dengan setelan mukenanya berdiri dan meggoyangkan ponselnya ke segala arah. Ponsel Araya semalaman berdering akibat panggilan telepon dari ibunya. Untung saja ia tak memasang jenis bebunyian yang bisa menganggu tidur para relawan yang sedang kelelahan.

"Ayo maa, angkat."

"Araya," ujar salah seorang lelaki yang jelas bukan suara ayahnya. Perasaanya langsung tak enak dengan beberapa argumen apa yang sedang terjadi sebenarnya.

"Mama kamu di rumah sakit karena stroke. Ia meminta Om untuk menghubungimu sejak malam." Lutut kakinya lunglai serasa persendianya tak mampu menopang masa tubuhnya lagi. Tangan Araya bersimpuh pada batang pohon dengan nafas yang tak teratur lagi. Baru kamarin ia merasa kesal oleh perjodohan ibunya kini ia tertohok pada suatu fakta yang terjadi.

Nina yang entah kapan, ia muncul dibelakang Araya. "Segera minta izin aja mbak. Nggak usah menunda lagi sekarang lebih baik." saran Nina.

Araya merapikan barang-barang dibantu sesama relawan. Nina telah memberitahukan pada Ridwan selaku ketua relawan mereka. Namun ia juha harus perlu mendapatkan izin dari Kapten Pramudya.

"Kalian harus kerja extra tanpa aku. Maaf yah!" Araya mulai nyaman dengan keakrabanya dengan para relawan. Walau ia tahu hanya ia dan Nina yang paling muda diantaranya namun rasa kekeluargaan mereka terjalin begitu tulus.

"Yowis, kalau udah sampai kabari mbak," ujar Rianti yang melipat dan memasukkan cepat baju Araya.

"Kamu mau naik apa ke kota?" tanya Ridwan.

"Entah, belum kepikiran sampai sekarang Kak."

Nina yang muncul tiba-tiba dengan pakaian rapi dan malah membuat semuanya terheran. Bagaimana tidak ranselnya bagai punuk unta yang kelebihan muatan. "Mau kemana Nin," tanya Ridwan memperjelas apa yang terjadi.

"Saya ada urusan mendadak. Pokoknya harus pulang hari ini juga."

Sampailah mereka berdua pada posko tentara. Araya tak mendapati Kapten Pram pada tempatnya. Lettu Genta yang menangani selaku wakil dari Kapten Pramudya tak bisa membiarkan dua perempuan itu pergi tanpa persetujuan atasanya.

"Saya mohon Pak!"

"Saya maunya membiarkanmu pergi tapi aturan mengikat saya."

"Pak, Tolong kami mau pulang. Kami dikejar oleh waktu," Nina menimpali ucapan Genta.

Nina menyuruh Araya untuk menunggunya diluar. Biar saja ia yang berbicara empat mata. Araya awalnya tak ingin pergi namun Nina memaksanya untuk keluar dari posko itu. Tak lama berselang Genta keluar dengan raut wajah yang tak dimengerti Araya.

"Ayo Mbak kita pergi!"

"Tadi," ujar Araya Ragu."Diantar sama Pak Genta?"

Perjalanan dari desa terpencil ke kota tempat terminal memakan waktu yang lama. Araya hanya meringis ketika merasakan mobil mendapati jalan rusak dengan banyak batu kerikil.

Genta melihat di kaca Spion raut wajah Araya yang teduh dengan balutan jilbab. Ia tersenyum tipis lantas dipergoki oleh Nina.

Dalam hati Nina berkata andai saja seseorang anak punya gambaran ibu seperti itu. Baik, rajin serta taat akan agama. Patutlah Ara jadi contoh ibu impian.

"Kalian sampai. Silahkan cari bus yang akan kalian tumpangi!"

"Terimakasih."

Nina memeluk erat Araya. Ia harus berpisah walau belum waktu yang ditentukan."Mbak lain kali kita bertemu lagi."

"Semoga kita masih dalam keadaan sehat untuk bisa bertemu. Jaga dirimu baik-baik Nin. Mbak akan selalu merindukanmu."

Genta melirik Araya sekilas dan meminta nomor telpon yang bisa ia hubungi. Araya mendapat busnya terlebih dahulu dibadingkan Nina. Sepintas ia melihat Genta yang malah asyik ngobrol bersama Nina. Kaca bus yang transparan membuatnya dapat melihat mereka. Bukan rasa cemburu yang timbul melainkan rasa aneh.

Ia harap akan dapat berkumpul lagi seperti ini. Ia mengeluarkan benda kotak yang terbenam di tas miliknya. Membaca dalam hati lantunan ayat suci al Qur'an. Berharap ia bisa melewati masa-masa sulit yang mengancamnya. Jaringan membuatnya sulit berkomunikasi saat ini begitupun dengan para penumpang yang asyik tidur berjamaah.

Araya tak peduli pakaian yang digunakan seharian full naik bus. Ia melewati orang sembari mencari ruangan anggrek yang dimaksud pamannya.

Pintu terbuka dengan satu kali tarikan Araya menmpilkan sosok Mina yang terbaling lemah. Infus masih terlekat dijemarinya. Wajah pucat pasi ibunya semakin membuatnya merasa bersalah. Ia terdiam sesaaat sebelum jemarinya tertaut berharap energinya bisa tersalurkan pada ibunya.

"Apa kamu masih terus menolak permintaan ibumu. Kau sungguh anak tak berbelas kasih sama sekali."

"Sekarang mama butuh istirahat. Ara tidak ingin berdebat apapun," ujar Ara memutuskan kontak mata dengan salah satu saudara mamanya tersebut.

Kini Pramudya bersandar pada pohon mangga yang masih berdiri kokoh berbeda dengan para pohon lainya yang telah tumbang. Tinggal lima hari lagi dan setelah itu kewajibanya telah usai. Baju seragam tentaranya kini berlumur tanah liat. Kali ini para korban telah banyak yang ditemukan walaupun tak dapat ditolong lagi.

"Lapor Pak."

"Sedari tadi saya mencari kamu. Kemana saja?" Tak ada yang tahu keberadaan Genta tadi Pagi hingga sore hari. Bahkan anggota lain tak tahu keberadaan pria itu sejak tadi.

"Maaf Kapten Pram. Dua relawan kita mendadak izin pergi." Genta mengembalikan kunci mobil milik Pram.

"Kenapa mereka harus pergi padahal tanggungjawabnya belum selesai." Pram berkata dengan tatapan miris.

"Tapi Pak dia ternyata adik anda."

Pramudya terlonjak kaget seraya bangkit dari tempatnya. Ia menatap intens Genta, selama ini hanya Genta yang pernah ke rumah Pramudya. Justru hanya dia yang tahu lika-liku keluarga Pram.

"Tidak mungkin Arin seberani itu datang kesini," Pramudya mengelak dengan beragam pemikiran yang percaya akan Arin.

"Saya melihatnya sendiri Pak dan memaksa saya untuk bisa mengantarkan dia dengan sahabatnya pulang."

Pramudya tahu betul yang dimaksud Genta adalah Araya. Tapi ia tak ingin tahu dengan kehidupan gadis itu yang ia pikirkan bagaimana Arin bisa jadi relawan. Bagaimana ia bisa dikelabui oleh adiknya sendiri.

"Kapten Pram," panggil Genta yang bisa memahami perubahan mimik pria itu. Kekhawatiran pria itu terlihat jelas. Tanpa berbicara sepatah kata Pramudya meninggalkan Genta.


PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang