13. Apa yang ada dibenakmu?

1K 38 0
                                    

Jika engkau memberikan penilaian awal yang buruk maka aku tak perlu banyak usaha untuk membuktikan karena nyatanya penilaian itu telah membutakan dirimu akan apa yang terjadi.

Ara mencoba segala usaha untuk bisa menghadapi semua masalahnya. Tak ingin bergantung pada keluarga Arin. Seminggu ini Nina telah mengirimkan lamaran pekerjaan alhasil ia bisa diterima di salah satu kafe. Ia tak punya pilihan untuk mengkategorikan pekerjaan atau sekedar memilah-milah. Saat ini ia butuh hal itu terlepas dari apa pun yang terjadi.

"Awww." Ara meringis kesakitan saat mobil mainan membuatnya terjungkal. Ia tak kuasa menahan keseimbangan badanya tersebut.

"Mobil remot aku," ujar Defan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia mengambil serpihan mobil tersebut dan menatapnya nanar. "Ini hadiah papa."

Ara dihampiri rasa bersalah seketika menyadari apa yang telah terjadi. Defan terus menatap serpihan mobil remote dan berlari ke kamar.

"Defan."

Anak itu berlari kencang dan meninggalkan remote mainanya. Walau begitu ia tak kuasa untuk sekedar membujuk anak tersebut. Pekerjaanya telah menunggunya saat ini. Apa lagi hari pertama bukan tentang toleransi waktu lagi.

Jemputan ojek telah datang dan dengan segera Ara membuka pagar rumah tersebut. Walau dengan rasa bersalah ia tetap melangkah dan berat hati. Tak sengaja ia berpapasan dengan Pram. Walau begitu tak ada senyuman ataupun sapaan dari lelaki tersebut. ia hanya mengusap keringat dan berjalan masuk.

"Mbak."

"Eh iya Pak."

Pram menengok kebelakang seraya melihat kepergian gadis itu. Tak ada yang tahu asal- usulnya walau begitu Arin percaya dengan orang yang baru ditemuinya saat menjadi relawan.

Ponselnya berdering membuyarkan spekulasi yang ada dibenaknya. "Halo, Pak."

"Entar malam ada pertemuan penting antara komandan batalyon. Segera hubungi anggota kamu dan hadir tepat waktu diacara tersebut. Lihat pesan yang saya kirim."

"Siap Komandan."

Arin yang masih berpakaian piama menatap sekeliling rumahnya. Ia mendapati kakaknya yang baru pulang dari olahraga pagi. Ia turun dari tangga dan mencoba menyapa Pram.

"Mas Pram dari olahraga?"

"Kalau udah liat buat apa bertanya Arin." Pram duduk dengan menyeruput segelas air putih miliknya. Lantas Arin memilih duduk berhadapan dengan kakaknya tersebut.

"Mas Pram liat Mbak Ara nggak?. Akhir-akhir ini dia suka menyendiri gitu."

"Itu bukan urusan Kakak. Setidaknya kita nggak harus ikut campur sama dia," ujar Pram dengan tenang. Ia mengecek ponselnya seraya mengabari satu persatu para anggota yang diundang.

"Yaudah. Mas Pram, aku izin pergi malam ini sama Miranda. Boleh dong?"

Pram mengangguk mengiyakan apa yang diinginkan adiknya. Namun matanya menerawang mencari sosok anak yang selalu wara-wiri di rumah ini.

"Defan mana. Kok belum muncul?" Pram heran namun wajah Arin terlihat biasa saja. Ia bahkan memberi kakaknya roti dengan isi coklat.

"Nggak tahu. Mungkin masih tidur."

"Nih sarapan dulu," Arin menyodorkan roti itu pada kakaknya.

Berlalu dengan urusan Defan, ponsel Pram bergetar menandakan dinas pagi yang mendadak. Waktunya harus berkutat dengan pekerjaan yang memerlukan ketekunan dan telaten. Ia tak punya banyak waktu untuk menikmati hari untuk sekedar berlibur .

PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang