40. kepercayaan

733 27 0
                                    

Jika kamu telah berusaha mengejar tapi tak mendapat cintanya maka ikhlaskan dia sepenuh hati. Niscaya tuhan akan memberimu jalan yang lebih baik.

Pram merapikan sendiri pakaian yang akan dibawanya ke markas batalyon. Satu persatu telah diletakkan pada posisinya. Tak sulit baginya melakukan hal yang telah lama rutin ia laksanakan. Pergerakanya terhenti ketika ia dipeluk oleh seseorang dari belakang. Sudah ia tebak dari jemari mungil yang memeluknya siapa lagi kalau bukan Defan.

"Papa mau pergi lagi?"

"Di rumah ada mama Ara, lagipula ini tanggungjawab papa dan akan selalu begitu. Papa nggak risau lagi karena Defan sudah punya mama yang baik. " Penjelasan Pram begitu lembut berbicara pada seorang anak. Lantas mengapa Ara merasa hatinya begitu luruh ketika Pram begitu memujinya di depan Defan. Ia merasa ketulusanya sebagai ibu sambung dari Defan terlihat di Pram.

"Aku sayang banget sama papa."

"Iya sayang."

"Mas kalau boleh tau berapa lama perginya?"

"Satu atau dua bulan."

"Mas sempat ada lagi yang bisa aku bantu."

"Udah lengkap Kok. Cuman kamu harus jaga Defan dan rumah ini."

"Mas nggak perlu khawatir soal itu karena kepercaan Mas Pram akan selalu aku jaga."

Oma yang diambang pintu tak tahu harus senang ataupun sedih. Kesendiriaan Ara bisa dengan mudah membuat gadis itu menderita. Disisi lain cucu semata wayangnya jauh dari jangkauanya lagi. Ia kemudian memberikan bingkisan berwarna coklat pada Pram. Sambil melirik ke arah Ara yang hadir dengan tangan kosong. "Kamu jaga diri disana. Oma akan selalu mendoakan kamu disini."

Ara terkejut ketika Maura muncul dari pintu dan memanggil nama Pram dengan jelas. Ia tersenyum ramah kepada Oma dan tanpa sungkan memeluk suaminya. Ara langsung memalingkan muka melihat kemesraan mereka berdua tepat dihadapanya. Meski begitu pelukan Maura tak mendapatka respon dari Pram sama sekali. "Kita nanti ketemu lagi." Samar-samar suara itu terdengar dan bukan Ara saja yang nendengar itu tetapi Oma.

"Oma aku bawain keripik kesukaan Mas Pram loh," ujar Maura sambil menyerahkan itu pada Ara.

"Mau jadi patung kamu. Ambil itu, lagi pula Maura lebih perhatiaan dari kamu. Suami mau pergi jauh tapi istri malah nggak persiapin segala hal."

"Baik Oma."

"Sekalian kamu pergi bantun Bii inem di dapur." Perkataan Oma seakan menyindir halus dirinya untuk menjauh dari suaminya sendiri. Dalam firi hati Ara berusaha sabar dengan segala titah dari Oma.

"Mas aku bikinin kopi sama sarapan. Jadi aku ke dapur dulu."

"Kamu nggak lupakan dengan kita," ujar Oma melirik Maura.

"Iya Oma." Ara pernah membaca suatu buku bahwasanya orang yang menang dalam suatu pertarungan bukanlah seseorang yang berdiri dan membalaskan dendamnya melainkan orang yang membuat orang lain frusrasi akan kesabaran yang ia miliki. Ini sebuah klimaks yang ia selalu ingat. Buat apa ia iri pada Maura padahal status dirinya lebih sah daripada wanita bertubuh ramping itu. Ia lanjut menata roti serta tak lupa kopi yang selalu disukai Pram. Maura mengekorinya dari belakang bagaikan parasit yang ingin tetap bersama inangnya.

"Ara kamu ke taman dulu. Ada beberapa bunga yang layu disana," ujar Oma yang tak membiarkan Ara duduk sama sekali. Ia memasukkan kembali kursi itu sembari tersenyum menahan gejolak dalam hatinya. Tangan lentik Maura dengan sigap menyambar kursi sambil berkata pelan. "Pergilah tanaman itu sedang menunggumu kan."

Pram melanjutkan aktivitasnya tanpa banyak berkomentar sedikit pun. Walau Maura disampingnya tampak ia tak begiti peduli dengan setiap pertanyaan yang dilontarkan gadis itu. "Nanti ada kejutan disana."

PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang