02 Relawan bencana

1.9K 77 0
                                    

Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi seseorang yang lebih baik darinya.

Awan kelabu menghampiri Araya yang terduduk diam sejak tadi. Sore ini dilewatkanya dengan santai di kursi taman. Satya sudah ingin melangkah jauh ke pelaminan dengan Fira. Ia menghadiri acara lamaran tersebut, tersisa satu bulan untuk melenggang ke pelaminan. Ia tersenyum tipis walau hatinya hancur dan luluh lantah.

drrt

"Halo Araya."

"Ada apa mill?"

"Kak Satya mau menikah."

"Iya."

"Sabar yah, jadi kamu gimana?"

"Ingin jauh dari Kak Satya dan mau cari tantangan hidup supaya lupaiin dia."

"Jangan bilang kalau kamu mau bunuh diri."

"Kalau betul kenapa?"

"Lo dimana, share lokasi, gue segera kesana. Cepetan!."

"Mila, Aku cuman bercanda. Masa mau bunuh diri, dosanya berat."

Mila memberikan brosur yang bisa membuat Araya jauh dari masalahnya saat ini. Brosur menjadi relawan bencana alam adalah salah satu cara buatnya meluapkan segala kegundahan dan mengabdikan waktunya untuk kegiatan positif.

Araya mampu mengorbankan waktu kerjanya alhasil seolah tak disangka-sangka, ia dipecat oleh bosnya. Kepalanya kini semakin membeludak dengan beban yang begitu berat. Masalah jodoh dan pekerjaan membuatnya akhir-akhir ini kelelahan.

"Mama cuman mau kamu bahagia. Terima Aldi!!" Mina terus membujuk Araya. Setiap hari ia selalu membahas hal tersebut.

"Sekali ini saja mama paham hal itu," ujar Araya menyudahi pembicaraanya.

"Besok Araya akan pergi selama dua minggu. Araya harap mama baik-baik disini."

"Tapi."

"Maa, Araya butuh suasana yang baru."

Disinilah Araya bersama dengan relawan yang ada. Mereka berjumlah dua puluh orang yang terdiri atas sepuluh pria dan selebihnya wanita. Ranselnya begitu membuat punggungnya terasa nyeri. Mereka berjalan 4 kilometer dari titik yang ditentukan. Untung saja ia memakai sepatu hitam, jalanan dipenuhi tanah liat dan lumayan licin.

drrt

Araya melihat ponselnya dan lalu menonaktifkan kembali. Sedari dua hari yang lalu Satya mengabarinya untuk menemaninya bersama Fira ke weeding organiser. Entah mengapa Satya masih belum sadar akan kekecewaan dirinya.

"Dari tadi hpnya berdering tapi kok nggak diangkat mbak," ujar Nina perempuan yang pertama kali ia kenal di pengumpulan relawan bencana. Paras Ayu dengan tubuh menjulang menambah kesan ellegant gadis itu.

"Nggak penting."

"Oh gitu mbak."

"Nina, kamu kenapa ikut jadi relawan bukanya kamu masih muda banget apa lagi orang kota. Jarang-jarang loh yang bisa mengabdikan waktunya untuk jadi relawan kayak gini."

"Nina ingin mengindar dari seseorang mbak."

"Setidaknya kamu punya keluarga pasti semuanya bisa terselesaikan," ujarnya yang seolah kehidupan Araya yang damai.

"Orang tua aku udah lama meninggal dan punya waktu yang positif bisa membuat aku lupa permasalahanku sejenak."

Sampailah ia di posko tempat pengungsi dan para korban yang terkena dampak dari bencana longsor. Ia melewati gapura desa Mekarsari yang jauh bertolak belakang dengan gambaran maps di ponsel Araya. Semuanya tampak acak-acakan, banyak sisa daun dan tetesan hujan masih terasa.

"Para relawan segera masuk," ujar tentara itu mengisyaratkan dengan tanganya.

"Yok teman-teman."

Araya yang berada pada barisan belakang tergopoh-gopoh dengan beratnya tas yang ia bawa. Seketika tanganya tercekal dari belakang. Ia memutar tangan seseorang itu namun, malah tanganya yang tergilir.

"Aww, lepasin saya," ujar Araya meringis. Lelaki dihadapanya sungguh berpostur tinggi dan kekar. Araya hanya sepantaran bahu tentara itu. Ia tak bergeming  dari tempatnya bahkan tatapan tajam membuat Araya bergidik ngeri.

"Saya peringatkan Pak jangan menyentuh saya seperti itu. Saya seorang islam, pantang bagi saya untuk anda pegang seperti itu," ungkap Araya.

"Kalau kamu tak ingin disentuh oleh lelaki lalu kenapa kamu berada di tempat ini?. Saya ingatkan sama kamu kalau relawan tak pandang bulu dalam menolong. Silahkan angkat kaki dari sini." titah Pramudya yang tak habis pikir dengan perempuan berjilbab dihadapanya ini. ucapan Pram membuat Araya mati kutu ditempatnya. Semua yang diucapkan lelaki itu memang benar.

"Hormat Kapten Pramudya," ujar anggota tentara yang baru saja datang. "Acara penyambutan relawan akan segera dimulai."

"Katakan pada unit yang lain untuk berbaris saya segera datang," ujar Pram. Araya semakin kaget mendengar lelaki itu dipanggil dengan sebutan kapten.

Pramudya memberikan dompet coklat milik Araya yang terjatuh. " Lain kali earphone di telinga kamu bisa di full kan volumenya," sindir Pram melewati gadis aneh yang tak ingin disentuh olehnya.

Diluar sana banyak perempuan yang memimpikan seorang Kapten Pramudya Cakraguntoro. Beragam dari jenis perempuan bahkan kebanyakan yang mengejarnya adalah model yang kita tahu bagaimana urusan fisik dan wajahnya diatas standar. Wajah tampan dengan badan kekar mampu menghipnotis seseorang jika bertatapan denganya.

Nina heran melihat Araya baru sampai padahal sedari tadi Araya berada dibelakangnya. "Kenapa mbak?"

"Pokoknya panjang ceritanya," ujar Araya dengan nafas yang tersenggal-senggal.

"Penyambutan ketua unit bencana dari Angkatan darat indonesia. Kapten Pramudya Cakraguntoro, dipersilahkan."

"Hormat dan salam sejahtera bagi para kawan kami yang baru datang. Tak lupa kami ucapkan rasa terimakasih untuk kepedulianya dan rela mendedikasikan waktunya sebagai relawan bencana alam sekaligus partner kami yang akan segera membantu para korban longsor di desa Mekarsari." Araya telah mengetahui nama lengkap lelaki itu. Dengan kharismatiknya ia mampu menyihir para relawan disamping Araya.

"Nikmat yang mana lagi kau dustakan."

"Annauhibbuka fillah kapten."

"Kasepp pisan atuh, Kapten Pram."

Pram menuturkan apa saja yang dilakukan relawan bencana alam dan harus terkordinasi dengan para tentara. "Saya selaku pemimpin disini meminta agar kalian bisa bekerja secara profesional. Gunakan ponsel dan  earphone kalian pada tempatnya. Jika saya mendengar ada yang menyeleweng dan tak mengikuti aturan disini. Siap-siap angkat kaki." Araya merasa tersindir oleh ucapan Kapten Pram, seolah semuanya tertuju pada kesalahan dirinya.

Araya menatap cahaya bulan yang ada di luar tendanya. Para temanya sudah ada pada alam mimpi. Ia tak sanggup untuk membangunkan salah satunya.

Pramudya tanpa sadar melirik perempuan itu yang belum ia tau namanya. Ia seolah mencari sesuatu dan mengamati tiap sudut lokasi ini.

"Genta," panggil Pram pada anggotanya.

"Siap kapten, ada yang bisa saya bantu."

"Sepertinya gadis itu butuh bantuan," ujarnya sambil menunjukan Araya yang berjalan sedari tadi.

"Siap Pak."

PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang