06. Diantara dilema

1.4K 56 0
                                    

Araya terbenam pada sudut ruangan. Jika ia bisa ibaratkan kepalanya tak bisa tegak dengan sejuta masalah yang melanda.

"Ara," panggil Mina.

"Ada apa Maa?" Araya berpikir mungkin ibunya butuh sesuatu. Sedari tadi Mina bergerak gelisah tanpa istirahat yang total.

Mina mengenggam tangan Araya menautkan tanganya seolah memberikan sengatan yang mungkin Araya hampir pahami. Topik yang selalu diulang bahkan mengintimidasinya. "Mama harap kamu bisa secepatnya pertimbangin lamaran Aldi. Entar dia datang kamu bisa saling kenal." Bagai petir yang siap menyambar, Araya terdiam sejenak melepaskan genggaman tanganya pada Mina. Ia tahu kondisi ibunya menurun saat ini namun mempertaruhkan pernikahan bukanlah pilihan yang cepat. Apalagi keluarga lelaki itu terus mendesaknya. Entah bagaimana ia harus menjelaskan semuanya pelan.

"Aldi itu baik, cuman kamu saja yang tidak ingin mengenalnya."

Ara memilih meninggalkan ibunya dan berniat mencari udara segar. Tidak, bagaimana bisa ia harus menerimanya. Araya tahu sifat lelaki itu tapi, menyimpan rapat tentang itu akan lebih baik.

"Araya," ujar Satya dengan seragam dinas yang terpatri lekat ditubuhnya.

Demi apapun Araya terkejut. Bola mata yang teduh memandangnya, seolah tak dapat melepaskan diri. hingga tak lama kemudian Fira meraih lenganya dan bergelanyut mesra.

"Siapa yang dirawat?" ujar Satya

"Mama." tukas Araya.

"Boleh minta waktunya?" Araya ingin segera menjauh. Belum usai luka yang ditorehkan Satya kepadanya dan apa ini. Ia meminta seolah tak terjadi apa-apa. Apa perasaanya sama sekali tak bisa dipahami lelaki itu. Fira memberikan jarak untuk Satya dapat berbincang dengan Araya.

"Ara aku udah tahu bagaimana selama ini bertahan untuk mencintai aku. Tapi, Fira udah punya posisi yang nggak akan mungkin digantikan."  Akhir kalimat itu membuatku terhempas kedasar. Akhirnya titik perasaanku kini telah memiliki ujung. Araya tak berkedip mendengar apa yang telah lama ia tunggu.

"Ara, kamu nggak apa-apa kan?" Satya melihat tubuh Araya bergetar. Ia ingin Araya menerima kenyataan. Bahkan mungkin dalam waktu dekat ini Satya akan menggelar pernikahan. Araya bahkan menolak uluran tangan Satya.

Sekuat hati ia menahan air matanya namun akhirnya lolos juga. "Kak Satya, cinta yang aku selalu doakan dalam setiap sujud ternyata bukan yang terbaik menurut Allah."

"Kamu pasti juga akan dapat yang terbaik walau bukan dengan aku." Selalu ada kata peneduh disaat semuanya telah tertata. Araya melihat sosok yang baik pada diri Satya lantas maksud yang terbaik seperti apa. Jikalau memang Araya telah lama menamatkan hati untuk Satya yang dianggapnya paling terbaik. Mungkin kata harapan sebagai peneduh dikalah Satya tak dapat membalas perasaan Araya.

Araya tertunduk memegang kuat kursi di taman itu. Tanganya terasa dingin, mungkin di hari lalu. Ia selalu menguatkan dirinya namun didepanya kini menuturkan hal yang ingin ia jelaskan sejak dulu.

"Salam yah sama Fira." ujar Araya tersenyum tipis.aq

"Ara sebelum aku pergi. Jawab satu pertanyaan ini. Kenapa kamu mencintaiku selama itu," tekan Satya "Jawab Raa."

"Ya Allah maafkanlah hambamu ini telah melabuhkan hati pada makhlukmu. Ternyata mencintai lebih darimu mampu melukai sebegitu dalamnya."

"Itu nggak ada gunanya lagi. Sekarang Kak Satya cuman perlu fokus sama pernikahanya." Araya bangkit dari kursi yang telah memberi banyak kenyataan begitupun Satya. Mulai saat ini Araya akan belajar hidup tanpa cinta.

Didepan wastafel Araya merapikan jilbab biru dongkernya. Ia juga merembeskan air ke wajahnya. Kepalanya terasa berdenyut tak karuan. Ditambah lagi kehadiran keluarga Aldi yang menjenguk ibunya. Araya hampir saja mencoba menghindar namun salah satu saudara ibunya melihatnya.

"Tante, Ara ada keperluan." elak Araya yang ingin pergi. lenganya ditahan oleh saudara kandung ibunya.

"Tidak Ara. Saat ini perlu bagi kamu mengenal calon pendampingmu." ujar Mira

"Tante, Araya belum siap akan hal itu semua." Mira menuntun Araya kembali ke ruangan tempat ibunya dirawat. Semua mata meliriknya, hingga ia menemukan Aldi disamping Mina.

"Ayo sini," ujar Mina yang bangkit dari tempat tidurnya dan dibantu oleh Aldi. Mina belum leluasa bergerak apa lagi butuh beberapa bulan untuknya dikursi roda.

Araya mendekat mencoba dengan tenang dan mengubah suasana hatinya. Ia melihat banyak buah dan roti yang ada di meja. Sudah pasti itu adalah buah tangan dari Aldi. Walau begitu Araya tak ada rasa sama sekali. Tak ada degupan saat memandangnya. Apa ini adalah takdir yang telah ditentukan tuhan.

"Ara, bisakah kita saling mengenal," ujar Aldi menatapnya intens. Araya menunduk seraya menguatkan tanganya pada pinggir ranjang.

"Ara," ujar Mina.

"Ara perlu waktu," ujar Araya. Ia merasa tak ingin berlama-lama. ia tak banyak berbicara apa lagi melihat Aldi.

"Sepertinya Araya masih perlu waktu untuk berpikir jernih. Selebihnya, berikan ruang untuk Aldi mengenal kamu." Araya hanya mengangguk sekilas kemudian mengupaskan apel untuk Mina. Berapa kali Aldi berusaha mendekatinya tetapi Araya selalu menghindar. Bagaimanapun ia pernah mendengar kisah Aldi dari sahabatnya Mila. Tentang dia yang jauh berbanding terbalik dengan perangai yang ada dihadapanya.









PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang