12. Papa

1K 48 0
                                    


Ara mengirimkan lokasi tempatnya pada Nina. Mungkin berada di temaram malam akan membahayakan baginya. Ia tahu betul kota Jakarta termasuk daerah yang rawan kejahatan. Hilir mudik terus bergabung memadati kota metropolitan. Banyak yang menggantungkan nasib di jantung ibu kota Jakarta. Termasuk, Ara yang kini hidup sendiri tanpa keluarga. sesekali orang lewat mengelilingi dan menatapnya, satu koper dan ransel yang menggembung dengan beberapa barang yang disusun Mika.

Ara mengecek ponselnya kembali Tak ada satupun telepon dari Nadra. Bahkan whatsapp Mika telah off sedari tadi. Tak ada yang akan mebemaninya lagi. Semakin ia menunggu kedatangan Nina  semakin udara malam mengikis pori-pori kulitnya.

"Tuhan, Kalaupun aku sendiri disini. Tolong hadirkan orang baik disekeliling ku." Araya bermunajat seraya lampu mobil menyorotnya.

"Mbak Ara," ujar Nina keluar dari mobilnya.

"Aku kayak mimpi, Mbak ada dikota ini lagi. Bagaimana kabar Mbak? terakhir ketemu satu bulan yang lalu."

Araya terdiam sejenak dan menundukkan wajahnya. Apakah ia harus jujur tentang apa yang membuatnya bisa sampai ke kota ini. "Aku kabur dari rumah."

Tak telak Nina terkejut bahkan menatap wajah Ara menyakinkan dirinya akan suatu hal bahwa perempuan dihadapanya ini sedang punya masalah.

"Kalau gitu Mbak ikut aku!" ujar Nina meraih koper yang ada ditangan Araya.

"Kamu anter aku cari tempat tinggal aja. Itu aja kok."

"Nggak, Mbak."

Nina tak mau menerima perintah Ara bahkan ia meraih koper dan ransel Nina dan memasukkanya di bekasi mobil. "Ayo Mbak!"

"Nin. Nanti keluarga kamu gimana?" Araya canggung untuk menerima Nina yang notabenenya bukan keluarga. namun, Nina menyakinkan dirinya dan membimbing Ara hingga naik ke mobil.

"Semuanya pasti welcome. Tenang aja."

Tak butuh waktu lama ia sampai dirumah dengan model elegan nuansa putih. Walaupun tengah malam namun, cahaya lampu di perumahan tersebut membuatnya terlihat jelas. Sekali lagi Araya terdiam sebelum Nina menepuk bahunya.

"Silahkan masuk Mbak."

Hanya ruang tamu yang  masih menyala selebihnya telah padam. Nina menuntun Ara ke kamar ruang tamu.

"Silahkan beristirahat Mbak. Semoga betah."

"Iya, makasih banyak Ninn."

Ia menatap nanar sebuah ruangan yang kini akan ditempatinya. Bukan lagi kamar sempit yang berisikan boneka tua. Badanya terlena pada kamar tidur yang empuk. Tak ada lagi suara retakan kayu ketika ia menguling-guling tak karuan. Araya bisa merasakan fasilitas rumah ini sangat memadai walaupun tidak terkesan super mewah.

Kini Araya tergabung pada alam mimpi, melupakan sejenak apa yang telah terjadi. Pahit kehidupan selalu membuatnya sadar akan perjuanganya yang tak pernah berhenti.

Bunyi Azan subuh membangunkan Araya dari tidurnya semalam. Tak ada yang berubah kostumnya masih tetap sama. Ia dengan cepat membangunkan persendianya seraya mencari tempat berwudhu.

Araya menoleh ke segala arah, mencari kemunkinan dimana toilet itu berada. Untung saja ponselnya masih tersisa banyak daya. Ia segera menghidupkanya dalam gelap gulita.

"Rumah ini seram banget. Mana lampu ruang tamu aja yang nyala," ujar Araya dalam hati.

Tumpukan piring bersemayam dengan beberapa gelas kotor. Ia yang baru saja masuk ingin masuk berwudhu tergoyahkan hatinya dengan tumpukan piring. Ia berpikir tak lama baginya untuk bisa menyelesaikan pekerjaan seperti ini.

PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang