16. Misi Khusus

910 39 0
                                    


Ada hal yang berbeda di pagi hari ini. Defan memberikan ruang untuk Ara bisa menembus sisi kehidupanya. Mulai dari sarapan hingga merapikan mainan anak tersebut. Ara mendapat secercah angin segar ketika perlakuan Defan mulai melunak.

"Oh iya. Ada yang mau aku sampain. Terutama untuk Ara."

"Mas Pram mau cerita apa?"

Pram mengubah posisinya agar lurus ke arah Pram. Tidak biasanya Pram menatapnya lama dan kembali melirik Defan. "Kalau kamu belum dapat pekerjaan. Saya punya harapan untuk kamu bisa merawat Defan dan segala keperluanya. Masalah biaya, Saya yang tanggung malah lebih dari gaji kamu saat kerja di restaurant dulu," ujar Pram.

"Itu ide paling baik sih. Apa lagi Defan nakal banget akhir-akhir ini. Repotin Mas Pram kerja dan banyak lagi," tambah Arin.

Dihadapanya ada tawaran yang begitu menarik. Toh, juga Ara belum mendapatkan pekerjaan setelah pergi dari restaurant itu. Niatnya ia akan pergi dari rumah ini sesegera mungkin namun masih tertaut kembali. Defan butuh sosok yang bisa menjadi sandaranya. Apakah ia mampu untuk itu?.

"Saya mau aja Pak cuman kembali ke Defan. Mau atau tidaknya dia dijaga oleh saya."

Arin tersenyum disaat semuanya saling serius. Ia hanya menunduk dan menertawakan Ara yang menurutnya terlalu formal. "Santai aja kali Mbak, panggil aja kakak satu ku ini dengan sebutan Mas. Lebih adem gitu dengarnya."

"Iya Mas Pram."

"Tergantung papa, asal ia nggak boleh bongkar barang-barang milik Defan," ujarnya dengan sinis menatap ke Ara. Mainan mobilnya pernah rusak akibat perempuan yang akan menjadi penjaganya itu. Ara pun sadar akan penekanan kata Defan. Ia masih ingat dengan kejadian tak mengenakkan juga.

"Saya sebentar transfer gaji pertama kamu."

"Kan saya belum kerja."

"Ini keputusan saya. Mungkin permintaan maaf saya karena dulu membuatmu di pecat."

Pramudya menghabiskan sarapanya segera dan beralih cepat ke kamar mandi. Tubuh atletisnya perlu penyegaran sebelum kembali lagi di kantor. Walau begitu sudah banyak yang menantinya dengan setumpukan masalah yang harus ditangani cepat.

Baru beberapa langkah ia menjauhi meja makan. Ketukan pintu dari depan rumahnya terdengar jelas. ia melenggang masuk dan tak mempersoalkan hal tersebut.

"Kak Genta," ujar Arin. "Cari Mas Pram kan?"

Genta menggaruk tengkuk nya. Ia datang bukan dalam hal kerja atau sekedar bertemu dengan Pram namun ada misi lain yang harus diselesaikan. "Bukan."

"Jadi?"

"Boleh masuk dulu nggak?"

"Boleh dong."

Ara memulai langkah pertama untuk bisa memulai tanggung jawab barunya. Ia menyisir dan merapikan rambut Defan. Kadang kali wajah anak lelaki itu tertangkap memayunkan bibirnya. Sudut bibirnya terangkat melihat tingkah judes anak ini. Bagaimanapun ia tak memiliki catatan rekor dalam menjaga seorang anak kecil.

"Awhhhh," sakit," ringis Defan. Ara spontan mengelus bagian yang dipegang anak itu.

Ara terpukau sejenak mendapati makhluk ciptaan tuhan yang sedang asyik mengobrol. Rambut basah yang acak-acakan membuatnya lebih segar. Ia dengan cepat memutus apa yang ia pikirkan, apa lagi sekarang statusnya adalah bawahan. Dalam hatinya berkomat-kamit lantunan istigfar.

"Kamu, bisa atur kan," ujar Genta.

"Yah boleh lah," ujar Pram menyesap americano panas miliknya. Minuman yang tak luput dari rutinitasnya. Saat menyesap americano sensasi dan rasa yang kuat membuatnya lebih rileks.

"Ara!" panggil Pram.

"Iya Mas."

"Sekalian aja kamu ikut sama Genta. Satu arah juga." Genta bersiap dan mengambil kunci mobilnya dengan sumringah. Langkah pertama dengan bantuan sahabatnya tersebut.

"Nggak repotin?"

"Yuk," ajak Genta.

Pram melihat kepergian Ara dengan Genta. Bagaimanapun Genta sosok yang baik dan mampu menjaga kepercayaan Pram hingga kini. Ia tertunduk mengecek pesan penting yang masuk dari para atasanya.

"Mas Pram jadi mak Comblang. Ngomong searah, bukanya beda jalur. Rumahnya Mas Genta kan di Jati Raya. Nggak baik lo Mas bohongin orang nanti kualat."

"Kamu tuhh," ujar Pram mengacak-acak rambut Arin hingga wajahnya tak tampak. "Belajar giat supaya kuliahnya lancar."

"Iya Mas Pram yang paling bawel." Arin meninggalkan saydaranya terdebut sebelum ia berceloteh panjang lebar dengan runtutan siraman rohani. Ia malah kabur dan menghindar.

"Kamu lumayan betah tinggal di rumah Pram?  tanya Genta perlahan-lahan agar suasana tak terlihat canggung.

"Alhamdulillah."

"Sampai kapan kamu tinggal disana?" tanya Genta kembali.

"Sampai saya punya uang untuk menyewa kost. Saya sangat bersyukur bisa bertemu dengan orang seperti Arin."

"Jika ada yang kamu perlukan. kamu bisa percayakan sama saya," ujar Genta dan tak sengaja menyentuh tangan Ara. Namun, Ara bukanlah seperti para wanita yang pernah dekat denganya. Wanita itu membiat jarak pada siapapun itu. Apa ia telah mempunyai tambatan hati hingga ia punya tembok kokoh yang sulit untuk ditembus.

Genta menawarkan diri untuk menunggu gadis tersebut namun ia malah menerima penolakan halus. Memaksakan kehendak bukanlah jalan yang terbaik ketika ingin menyakinkan  wanita itu.

"Makasih untuk bantuanya hari ini Pak Genta."

"Kalau kamu panggil Pram dengan sebutan Mas, cukup panggil saya juga seperti itu.."

"Iya, Mas Genta."

Ara melirik kepergian Defan dengan senyum hangat. Seolah melepas rasa kehangatan seorang ibu pada anaknya. Ia tak tahu masa lalu Defan, entah itu siapa ibunya. Ia punya batasan untuk mengetahui itu. Walau begitu sudut matanya menangkap tatapan anak usia empat tahun dimana anak disebrang jalan, dipeluk dan dicium oleh orang tuanya. Anak seusia Defan mencium tangan ibunya dan berlalu. Ia mungkin bisa merasakan lewat tatapan Defan pada aksi ibu dan anak itu.

"Kasihan, dia butuh sosok ibu."

Dilain sisi Arin merasakan ketakutan melihat pria yang ingin ia hindari seumur hidup. Ia mencoba menghindar dengan memutar arah jalan. Ia tadinya ingin ke sebuah minimarket namun melihat pria itu saja, ia telah menggurungkan niatnya.

Ia mencoba mempercepat langkah kakinya. Namun hentakan dibelakang seolah mengikuti langkah irama kakinya.

"Dek, ini dompetnya jatuh."

"Ohh iya makasih," ujarnya masih dengan nada gugup.

"Dikejar kok malah lari Dek."

"Sekali lagi saya minta maaf."

Sejauh apapun kamu lari. Saya bisa menemukan kamu. Hanya saja kamu beruntung hari ini. tunggu sayaa.

Pesan itu membuat Arin seketika mendingin. Traumanya kembali lagi dengan memori kelam yang terputar kembali. Ia menetralkan nafasnya seraya memeluk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia terus menghantui hidupnya.






PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang