27. Memburuk.

645 37 0
                                    

Aku hanya ingin kalian berbahagia walau tanpa aku.

pram seharian menjaga Arin yang belum sadarkan diri. Kelopak matanya membengkak seiring mata yang terjaga kemarin malam. Defan sudah aman karena Ara pulang dan mengirimkan beberapa baju untuk Arin dan Oma.

"Pram, oma mau balik dulu. Kamu jagain Arin sentar oma akan balik lagi."

"Aku telpon sopir rumah untuk jemput Oma. Kalau bisa Oma jangan balik aja dulu. Kata dokter penyakit Oma perlu istirahat dan tidak terlalu banyak pikiran jadi, biar Pram yang disini."

Usia yang renta membuat Oma sering merasakan beberapa bagian tubuhnya pegal. Apalagi ditambah hari ini yang membuatnya harus tidur di sofa. Ia hanya mencoba terlihat juat dihadapan Pram. Saat ini tak ada kedua orang tau yang mendampingi mereka maka satu-satunya yang bisa mengambil alih itu adalah Oma Mia.

Pram juga mengantar Omanya hingga sampai di pintu mobil. Apalagi irama jalan Oma mulai semakin lambat seiring usia yang bertambah. "Kamu harusnya jagain Arin nak. Oma bisa pulang sendiri."

"Nggak apa-apa Oma. Pak jangan ngebut bawa mobilnya dan tolong entar bawa Defan kesini. "

"Baik Pak."

Oma berjalan dengan sendi-sendi yang nyeri. Ia duduk lama pada sofa dan saat ini ingin sekali ia meregangkan tubuhnya. Defan yang melihat Oma nya datang langsung memeluk wanita paruh baya tersebut.

"Oma, tante Arin sama papa belum pulang?"

"Doain tante Arin semoga lekas sembuh."

Hati Ara juga tak karuan semenjak ia pulang dari rumah sakit. Nyawanya seolahberada disana, ia mengkhawatirkan kondisi Arin. Entah mengapa ia merasa tidak tenang saat ini.

"Kenapa kamu terdiam?" tanya Oma menatap Ara yang bersender pada pintu. Oma langsung menyerahkan tas dan barangnya begitu saja pada Ara. "Apa kerjamu hanya diam termenung disini. Nih bawa tas dan barang-barang saya."

"Baik Oma."

Oma yang memasuki kamar bernafas lega dan duduk diujung kasur. Nara yang melihat Oma tampak meregangkan lehernya langsung menawarkam diri untuk memijat.

"Emang kamu bisa apa?"

"Saya biasa diajar mama untuk memijat Oma."

Oma terdiam sejenak sebelum membiarkan gadis itu memijat lehernya perlahan-lahan. Ia mencari titik fokus pada leher Oma dan memijatnya searah. Perlahan-lahan Oma merasakan lehernya lebih baik. "Sudah, kamu bisa pergi dari sini," usir Oma Mia yang tak ingin membuat gadis itu merasa dibutuhkan.

"Bagaimana kondisi Arin?"

"Dia belum pulih dan jika ada yang terjadi pada Arin maka itu semua karenamu. Pram tak akan lagi mempekerjakan wanita sepertimu."

Bisakah Oma berbicara dan memperhatikan hati Ara yang teriris tetapi seolah wanita itu terus mencari titik kesalahanya. Ara merunduk dan beristigfar akan sikap Oma. Ia sadar menjadi bawahan sudah tentu mempunyai banyak konsikuensi.

"Dengar baik-baik, bawakan pakaian Pram dan Arin segera. Jangan lupa bawalah Defan!"

Ara merapikan rambut anak pria itu sembari khawatir dengan kondisi Arin. Ingatan saat Arin memekik dan suara mobil itu selalu membayanginya. Darah segar yang mengucur dari kepala Arin mengigatkan ia pada ayahnya yang tewas karena kecelakaan. "Apa ayah rindu padaku Mbak?" tanya Defan menegadahkan kepalanya pada Ara.

"Tentu saja. Justru tante Arin lebih butuh perhatiaan kita saat ini," ujar Ara.

"Aku tidak ingin menjenguk tante Arin nanti dia akan memarahiku lagi," celoteh Defan yang justru membuat Ara membalikkan anak itu dan menyapu wajah tampanya.

PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang