Jika dasar pernikahan yang tak ada maka harus bagaimana kerajaan mahligai rumah tangga berlayar.
Ara masih nyaman bergelut dengan air yang dingin. Setelah penat menjaga Defan seharian membuat badanya lengket. Apalagi rutinitas yang paling lama ia lakukan selain ini. Tak lupa ia memakai baju mandi dengan rambut yang basah. Saat melangkah keluar ia langsung bertemu dengan mata Pram. Alhasil ia lanhsung bergegas mengganti pakaianya dan tak berani mendonggakkan kepalanya.
Pram hanya memakai kaus putih dan meraup wajahnya. Sekelebat pikiran yang ia tak duga melintas begitu saja saat melihat Ara. Ia bisa melihat gadis itu begitu pemalu. Hanya dengan tatapan matanya mampu membuat wajahnya merah merona.
"Mas Pram butuh kopi?" tanya Ara yang langsung muncul dihadapan pria itu. Sedetik berlalu dan pria itu mengangguk setuju dengan suara paraunya.
"Tunggu yah Mas," ujar Ara.
Di dapur ia harus lagi bertemu dengan Oma yang memasang mimik tak suka padanya. Kedua jnsan itu hanya saljng diam dengan aktivitasnya masing-masing. Ara menakar kooi dan Oma yang sedang membuat susu. Mau bagaimanpun ketika berada ditempat ini Ara selalu menghormati Oma. Ia adalah perempuan yang membesarkan Pram.
"Mau kemana kamu?" tanya Oma dengan sinis. Baru ingin melangkah Ara langsung terdiam dan berbalik ke arah wanita lansia itu.
"Dengar yah. Kamu taukan tentang bagaimana hubungan suami istri. Sampai kapanpun saya belum merestui pernikahan ini. Jadi kalau ingin melangkah lebih. Ingat satu hal, Pram tidak mencintaimu sama sekali. Jangan sampai kamu terluka lebih dalam," ujar Oma yang begitu yakin. Ara rasanya ingin terduduk dan tak kuasa mendengar oernyataan Oma. Tungkainya terasa lemas namun ia masih tetap berjalan dan memenuhi segala tugas yang senestinya.
Pantas saja Pram sama sekali tak menyentuhnya. Bukan karena masalah waktu tetapi karena tak ada tempat bagi Ara dihatinya. Ia dengan cepat melihat langit-langit saat ingin membuka kamar. Ia tak akan pernah memperlihatkan air matanya.
"Ini mas kopinya."
"Tunggu," ucapanya terjeda sebentar "Duduklah!"
"Tapi saya mau ke Defan," alibi Ara padahal ia tak ingin menatap Pram lagi. Kata-kata Oma membuatnya teriris dan semua itu sejalan dengan apa yang terjadi.
"Sejak kapan kamu menghindari saya," pram mengetahui apa yang dipikirkan Ara saat ini. Ia meraih tangan perempuan itu dan ingin membuat sebuah pembicaraan yang sedari tadi ingin ia sampaikan. "Kamu percayakan sama saya?" tanya Pram intens sedekat itu pada Ara.
"Tentu kenapa tidak."
"Tapi mata kamu menyiratkan hal lain," ujar Pram sembari memegang wajah Ara yang terbalut jilbab.
"Tidak Mas. Katakan saja apa yang harus saya lakukan."
"Mendekatlah."
"Apa?"
"Mendekatlah kemari," Pram berkata santai dengan Ara yang mulai tak nyaman. Posisi mereka sangat dekat bahkan helaan nafas Pram terasa diwajahnya. Pria itu terus menatap Ara hingga sebuah tangan menyentuh pipinya. Hampir saja ia berpikiran aneh namun dipatahkan saat Pram nembuang semut merah itu. "Bahkan ketika semut ini akan menggigitmu baru kamu akan menyadari kehadiranya."
"Minggu depan kita akan ke asrama batalyon. Saya dipindah tugaskan disana. Jadi kamu akan mengikuti dimana pun saya berada."
"Bagaimana dengan Defan."
"Kita akan bujuk dia."
"Oma berbicara apa sama kamu? Jujurlah orang yang dihadapanmu ini adalah suamimu," ujar Pram tenang tak seperti Ara menutup semua akses bicara selanjutnya. "Tidak ada." Pram memahami gestur Ara yang sedari tadi tidak fokus padanya. Berapa kali ia meminta Oma untuk bersikap lebih baik pada Ara namun selalu diacuhkan begitu saja.
"Jangan sampai harapan kamu terlalu tinggi tentang pernikahan ini." Satu kalimat itu ternyata sejurusan dengan perkataan Oma. Apa cinta yang sejati tak ada dalam hidupnya. Hingga sebuah kalimat yang mampu merenggut dan membuat hatinya terasa hancur. Lantas untuk apa mengikat hubungan jika Ara tak punya angan-angan seperti kernikahan lainya. Tidak bisakah ia mendapatkan kebahagiaan untuk hidup berkeluarga seprti yang lainya.
"Aku berharap dan mempunyai mimpi untuk masa depanku kelak. Menjadi ibu dan istri yang baik hanya sesederhana itu," ujar Ara dengan suara yang getir menahan luapan perasaanya. Akhirnya ia mengetahui jikalau dirinya belum mendapatkan nafkah batin itu karena suaminya tak punya rancangan untuk bersamanya. Bukan karena pengaruh apapun dan menyadari lebih dini membuatnya merasa sesak.
Pram harus memberitahu lebih awal walau menyakitkan. Ara terlihat menahan air matanya yang ingin sekali ia tumpahkan. Pram baru ingin mengulurkan tangan namun otaknya menolak seketika. "Tidak ada cinta dan harapan untuk hubungan ini. Pernikahan ini hanya untuk Defan. Terserah jika kamu menganggap semua ini apa. Intinya kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau dalam pernikahan selain cinta."
"Aku cuma mau cinta kamu Mas," ujar Ara yang merasa tertohok dengan kepergiaan Pram . Ia telah memberikan seluruh cintanya buat Pram. Ringisan pelan tak terelakkan. Air matanya tumpah seraya tubuh Ara yang meringsut ke lantai. Ia memegang kedua lututnya erat dan mengeluagkan tangisan yang tak terbendung. "Apa aku nggak begitu berharga dalam hidup kamu Mas Pram."
"Mama," ujar Defan menemukan Ara yang dengan cepat menghapus tangisanya.
"Kata papa, mama nggak bisa diganggu," ujar Defan polos. Ia menarik Ara yang belum siap berdiri untuk menemaninya di taman sekaligus membacakan buku yang baru dibeli anak lelaki . Ara mampu membuat luka di hatinya tertutup sempurna. Senyumanya kembali lagi seolah memananipulasi dirinya sendiri.
Ia melewati Pram yang sama sekali tak meliriknya. Pria itu menonton berita yang ada di tv namun dalam hati memikirkan agar Ara tak bisa berharap lebih. Ia meraup wajahnya seraya memikirkan sesuatu hal dan ini bisa memperbaiki hubunganya.
"Paa mau ikut main sama Defan?"
"Boleh kalau gitu," ujar Pram mengikuti langkah Ara yang ada dihadapanya.
Defan mengiginkan main bola di taman dan meminta Ara untuk menjadi wasitnya. Entah mengapa Ara merasa senang ketika senyum tipis Pram saat membuat Defan kalah. "Apa masih ingin bermain bersama papa. Coba lihat papamu ini jago kan.
Pram membiarkan Defan bermain bola sendirian ketika ia susah lelah. Lantas tangan Ara memberinya satu gelas Jus jeruk yang langsung menghilangkan dahaganya. "Kamu baik-baik saja kan?"
"Mas tidak usah bahas itu lagi."
"Baiklah. Selebihnya tidak boleh ada yang tahu tentang apa yang kita bicarakam tadi."
"Setidaknya saya akan berjanji untuk menutupi aib pernikahan kita," tutur Ara.
Perbincangan mereka terputus ketika Defan mengajak Pram bermain lagi. Tawa lepas anak itu kembali seperti semula. Arin sebagai ibunya telah tiada namun peran sekrang ibu langsung dapat disesuaikan Ara. Ia tak pernah berpikir bahwa menikah muda adalah pilihanya sekarang. Nyatanya takdir tuhan tidak dapat ditebak.
Saat asyik bermain kaki Pram tak sengaja terbentur pada dinding. Sedikit ada darah yang keluar pada tumit pria itu. "Maa, kaki papa luka," teriak Defan yang membuat Ara mendatanginya langsung.
Baru ingin menyentuh luka itu, Pram bangkit dan mengatakan tak butuh bantuan siapapun. Pram menahan ringis dari luka kecil pada. "Sudahlah, saya bisa lakukan sendiri." Ara tetap kekeh pada pendirian menahan langkah Pram.
"Faan tolong ambil kotak P3k."
Saat Defan datang dengan kotak yang ada ditanganya. Bukan Ara yang mengambil itu melainkan Pram yang memilih mengobati lukanya sendiri. "Biar Ara aja," ujar Ara tetap berusaha ingin membantu Pram.
"Luka seperti ini sudah sering aku hadapi. Jadi tolong jangan berlebihan," pungkas Pram begitu dingin mengacuhkan niat Ara.
Aku minta maaf buat pembaca aku yang udah tunggu lama lanjutan cerita ini🙏🙏. Berhubung ada banyak yang diutamakan, saya mohon kalian tetap bersama Pramudya. Saya janji akan melanjutkan cerita ini hingga tamat. Makasih banyak buat readers ku. Semoga hari kalian indah san menyenangkan 🤍🤍🫶🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUDYA
AksiKisah yang paling banyak terjadi adalah dokter berpasangan dengan Tentara. Namun kisah ini bertolak belakang dengan realita yang biasa terjadi. Araya Putri Wirasena gadis yang menjadi relawan bencana alam harus memenuhi keinginan Arin. Gadis yang d...