26. pembengkakan otak

731 33 0
                                    

Pram memijit pelipisnya dan mengetahui Arin masih berurusan dengan Albi. Bukan tak mengapa di alam semesta ini kenapa tempat yang harus di pergi adalah rumah si pria bejat. Pram menyenderkan diri pada dinding rumah sakit. Kepalanya kini terasa pening memikirkan Arin yang belum sadar.

Dokter yang menanganinya keluar bersamaan dengan dua perawat. Pram bangkit dan segera menanyakan kondisi adiknya tersebut. "Bagaimana dengan keadaan adik saya?" tanya Pram memegang kedua bahu dokter pria itu.

lelaki yang hampir sepantaran dengan umur Pram mengambil nafas sebelum mengungkapkan apa yang terjadi pada gadis itu. "Dia mengalami edema serebri atau pembengkakan otak akibat benturan keras saat tabrakan. Saat ini pasokan oksigen pada otak semakin menurun jadi masih ada peninjauan yang lebih kepada pasien setelah operasi hari ini. Satu hal lagi ia masih dalam keadaan koma," ungkap dokter Arlando sesuai dengan tag yang ada pada jas putih miliknya.

Pram menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan dengan gelisah. Semenjak orang tuanya meninggal ia mengambil semua tanggung jawab dan menjadi sosok ayah sekaligus kakak bagi Arin.  "Apa dia bisa sembuh Dokter?. Tolong usahakan segala apapun untuk adik saya."

"Kami akan lakukan hal yang terbaik. Untuk kesembuhanya semoga dapat melewati  masa koma. Jujur saja pembengkakan di otak pada adik anda cukup parah." Dokter Arlan berbicara sesuai fakta yang ada terkebih keluarga harus lebih perhatiaan pqda kondisi Arin.

"Apa saya sudah bisa masuk?"

"Jangan terlalu banyak. Cukup dua orang yang selalu mengawasinya. Kalau begitu saya pamit dulu."

"Sabar Pram, kita doakan agar Arin melewati koma. Oma memeluk cucu sulungnya dan menitikan air mata. Rasanya berat melihat Arin terbaring koma dengan mata yang kunjung terbuka. Dari kecil Arin dan pram diasuh olehnya namun karakteristik keduanya sungguh berbeda Pram lebih gampang diatur dan paham dengan setiap kondisi berbeda dengan Arin yang selalu ingin bebas dan bergaul dengan siapa saja.

"Kenapa kamu tidak bilang Ara kalau Arin ingin bertemu Albi. Kenapa?" Pram kembali melampiaskan kekesalanya pada gadis yang pucat dengan baju yang penjh dengan noda darah.

"Karena ini permintaanya."

"Apa kamu paham kalau Albi orang yang jahat?"

Ara mengangguk jujur. Bukankah ia pernah mendapati Albi yang berbuat kasar pada malam itu. Lantas mengapa ia bungkam saat Arin menyuruhnya diam. Ara menarik ujung bajunya karena gugup. Bentakan lelaki itu mengintimidasi dirinya. Seolah tak membiarkan dirinya bernafas lega.

"Aku udah coba jujur tentang Albi dan Arin tapi setiap aku ingin bicara. Mas Pram nggak isinin sama sekali."

"Sejak kapan. Haah?" ujar Pram membentak.

Maura menarik lengan Pram menjauh dari Arin. Setiap orang yang berjalan melihat pada kedua insan itu. Mencoba menetralkan perasaan Pram yang sedang emosi. "Ini rumah sakit. Kamu nggak mau kan kalau harus diusir dari sini."

Pram melepas tangan Maura yang menempel padanya. Walau dalam keadaan seperti ini ia tetap menjaga jarak pada Maura. Ia masuk dan tak kuasa melihat Arin terbaring lemah. Lututnya terasa tak berdaya sama sekali. Dengan hati-hati ia memeluk Arin dengan mengucapkan satu kalimat yang mungkin hanya ia yang mendengarnya. "Kakak nggak mungkin biarin kamu merasa sendirian Arin."

Ara hanya melihat Pram dan Oma Mia masuk menemui Arin. Ia menatap gadis yang telah banyak membantunya selama ini dalam jendela ruangan UGD. Baru saja ingin melangkah masuk ke dalam ruangan Maura menariknya dan tak membeiarkan ia masuk. "Kamu dengaryang dokter barusan tadi bilang. Kalau jangan ada banyak yang masuk."

Rasanya badan Ara mulai lengket ditambah darah segar yang menempel lada bajunya. Ia pun belum melaksanakan shllat duhur sama sekali. Oma Mia juga menyuruhnya pulang untuk menemani Defan dan mempersiapkan barang Arin saat di rumah sakit.

Ia berjalan pulang melewati koridor rumah sakit. Ara paham bahwa badanya menganggu setiap orang yang berada didekatnya. Bau anyer darah membuatnya menatap Ara. Ia berjalan lebih cepat agar dapat menemani Defan yang sedang sendiri di rumah.

Seseorang dari belakang mengikutinya dan memanggil namanya berulang kali. Ara berbalik dan bertemu kembali pada Satya. Pria itu lebih berisi dari sebelumnya. Sudah pasti makanya akan  lebih teratur saat mempunyai istri dirumah.

Satya baru saja ingin masuk ke poli kandungan menemani Fira yang mengecek kandunganya. Namun selintas ia melihat sosok Ara yang berjalan. Dengan penasaran ia mengikuti dan memanggil nama Ara. Ia tahu bahwa gadis itu ada di kota Jakarta jadi kemjngkinan itu adalah Ara.

"Kak Satya."

Satya melirik penampilan Ara yang dipenuhi darah pada bagian perutnya. "Ada apa Ara. Kenapa ada darah di baju kamu."

"kecelakaan."

"Kamu nggak apa-apa?. Udah periksa sama dokter." Satya masih sama seperti dulu. Bagaimana perhatiaan dan ketulusan dirinya tak usah diragukan lagi. Baru pertama kali ada yang bertanya kondisinya. Saat di depan ruangan Arin pun, ia langsung mendapatkan tatapan tajam dan bentakan. Lantas angin segar apa yang melintas pada dirinya saat ini.

"Aku nggak apa-apa," ujar Ara menurunkan tangan Satya pada bahunya.

"Aku antar pulang."

"Tapi kamu punya urusan di rumah sakit. Biar aku pesan grab aja."

"Fira masih lama antrianya kok. Biar entar aku kirim pesan sama dia."

Alhasil Ara menurut dan berjalan beriringan bersama Satya. Orang yang pernah menempati tahta tertinggi dihatinya. Ia melepasnya dengan ksikhlasan dan hasilnya Satya dapat bahagia dengan hidupnya bersama Fira.

"Kamu lihat aku kayak gitu kenapa?"

"Tambah ganteng."

"Kita lupain masa lalu yah Ra. Kalau butuh sesuatu kamu bisa kabarin aku. Fira juga terbuka banget kok sama kamu." Ara hanya merasa janggal ketika dirinya masuk dalam hidup Satya kembali. Ia telah berjanji pada dirknya untuk tak merepotkan lelaki itu lagi.

"Aku tahu alasan kamu ke kota ini. Mika udah bilang semua." ujar Pram sambil menyetir. Nasib getir Ara membuatnya ingin membantu lebih gadis itu. "Kamu nyaman kan ditempat kamu saat ini?"

"Soal itu udah aku lupain Kak."

"Kamu jangan sok kuat di depan aku Raa. Keputusan kamu udah paling benar. Menikah dengan orang yang tak kamu cintai itu akan berat."

"Yah seperti aku yang pernah berharap bahwa kamu adalah pendamping aku kelak," batin Ara.

PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang