42. kedudukan wanita

739 27 1
                                    

Jika jendela dunia ingin kamu buka maka cintailah ibumu sebelum itu.

Satya mengemudi dan membawa Ara memasuki perumahan dengan model klasik bergaya eropa. Ia tahu dimana tempat tinggal Ara. Gadis itu hanya melamun dan menatap rintik hujan yang mulai membuat kabur jendela mobil Satya. Dia diam dan tak mengeluarkan sepatah kata hingga mobil tersebut terparkir pas di depan rumah Ara. Ia melambaikan tangan tepat dihadapan gadus yang melamun itu. "Udah sampai!"

Ara terkejut bukan kepalang tak kala harus berada di rumah itu lagi baru berselang dua jam ia diusir tepat dimatanya. Lantas mengapa harus kembali mengulang luka yang sama. Apa ia harus jujur pada Satya tentang dirinya yang diusir.

"Mau turun atau ikut ke rumah," ujar Satya bercanda dengan bibir yang terangkat sebagian. Ia masih bisa senyum dan menampakkan giginya walau Ara berusaha sekuat mungkin berpikir. Apa ia harus jujur dengan kradaaan ini. "Aku mau pulang, tapi bukan kesini," ujar Ara dan membuat Satya menyadari apa yang menjadi kemurungan dan terdiamnya Ara sejak tadi.

"Aku paham, kamu mau aku antar kemana?"

"Stasiun."

"Kamu mau balik ke mama kamu?"

"Iya."

"Kamu masih ingat apa yang dia perbuat selama ini ."

"Kak Satya, dia adalah mama aku. Bagaimanapun kesalahanya akan tetap aku maafin."

"Oke aku antar. Kalau kamu memilih itu ya sudah. Kamu juga telah dewasa bebas memilih apa jalan mu kedepanya. Tapi bagaimana dengan Pram?"

Tentu saja ketika telah memiliki status sebagai istri maka yang akan selalu terlibat adalah suami. Pram tak tahu mengenal itu tapi ia tak ingin hubungan dengan Oma nya akan memburuk mengenai masalah ini. Ia cukup berpikir untuk menemukan solusi tanpa melibatkan Pram. "Soal itu nanti aku pikirkan."

"Kamu nggak mungkin diusir dari rumah itu tanpa sebab Raa. Aku tidak kenal kamu begitu dalam tapi hanya satu yang boleh kamu tahu. Aku nggak akan bertanya tentang apa yang terjadi," tutur Satya. Ara mengira pria itu akan mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Tahun boleh berganti tetapi Satya masih sama seperti dulu tak pernah ikut campur dan menghargai privasi orang lain. Tak perlu diragukan jika selama bersekolah di tempat yang sama dengan Ara jabatanya tak pernah tergantikan menjadi ketua kelas. Hanya ada beberapa detik ia mengarahkan pandanganya pada Satya. Hingga mungkin ia akan selalu sadar bahwa Satya bukanlah masa lalu yang buruk untuk terpatri dalam otaknya.

"Kak Satya janji untuk nggak bilang sama Mas Pram soal ini."

"Kamu bisa pegang janji aku." Tak ada yang bisa ia lakukan untuk menebus rasa bersalahnya pada Ara. Ia melewati masalah yang begitu rumit. Cukup, ia mempunyai empati sebagai makhluk sosial untuk melihat mata yang terluka. Tak perlu banyak bertanya karena pada dasarnya ia ingin Ara sendiri yang jujur tentang masalahnya saat ini.

Belum sampai ke tempat tujuan, Satya langsung putar balik dengan raut wajah khawatir. Ia juga menambah laju kecepatan mobil. Ara sedikit takut dan mencoba bertanya pada pria itu. "Kenapa Kak?"

"Fira masuk rumah sakit, perutnya terus saja sakit."

"Ya Allah, Aku mau ikut kesana. Aku tahu Kak Fira kuat jalani cobaan ini."

Saat bertemu dengan Fira di waktu lain cobaanya tetap sama. Kandungan dari wanita itu kerap kali mengalami gangguan. Semakin melihat kehidupan dunia, pantas saja Allah selalu mengutarakan kedudukan wanita yang mulia. Ketika remaja wanita mengalami yang namanya perubahan hormon dan ditandai dengan menstruasi. Dinding rahim yang meluruh dan bisa menimbulkan sakit ketika hal itu terjadi. Kemudian jika wanita telah dewasa dan mengalami kehamilan maka ujian perlahan-lahan meningkat ia harus mampu membawa anugerah tuhan ke dunia dengan beragam rasa sakit seperti hal yang dialami Fira.

Ara tertegun mencoba merenung akan kedudukan wanita. Ia tak sengaja memegang perutnya dan berkata bahwa menjadi wanita adalah anugerah tuhan dan ia ingin dapat merasakan bagaimana sakitnya ketika hamil. Mengapa tuhan selalu mengutamakan ibu dibanding ayah itu karena perjuanganya.

"Kamu ngak apa-apa kan?" tanya Satya.

Ara menggeleng "Saat ini Fira lebih penting."

Fira yang masih berusaha mengumpulkan kesadat
Ranya kini perlahan mengenali Satya. Ia terbaring lemah dengan tambahan infus. Wajahnya yang putih kini semakin pucat. Satya langsung meraih tangan gadis itu dan menciumnya beberapa kali. "Fir, Aku minta maaf."

"Ini bukan salah kamu kok. Aku cuman kecapean aja."

Ara tahu kemana mata Fira  berlabuh. Mungkin ia terkejut melihatku kesini. Dengan cepat aku berpindah dan berada disampingnya. "Fir, Kak Satya khawatir banget sama kamu. Aku minta maaf merepotkan kalian. Coba saja dia tidak mengantarku ke terminal. Mungkin dia yang akan menemanimu ke rjmah sakit. Aku minta maaf sekali lagi."

"Udah nggak apa-apa kali. Kak Satya itu emang peduli sama kita berdua jadi kalau bukan aku yang dia pikirin itu mungkin kamu," ujar Fira. Ara kira wanita ini akan marah karena suaminya lambat dan memilih tak langsung pulang.

"Kamu mau pulang ke rumah orang tua kamu. Suami kamu dinas atau apa?"

Orang lain tak perlu merasa masalahnya adalah beban untuk itu ia menggangguk membenarkan apa yang Fira katakan. Toh itu adalah fakta namun dibalik kepergiaanya ada alasan khusus.

"Kalau kamu kesepian mending tinggal di rumah kita. Yah nggak sebesar rumah suami kamu tapi bisalah untuk kita bertiga. Lagi pula aku masa pemulihan jadi butuh teman. Apa lagi Satya nggak bisa libur. Kamu tahu kan dia ASN. Sulit untuk dia libur kecuali kalau dia CEO," ujar Fira yang membuat keduanya langsung melihat Ara. Satya menaikkan alis seolah memberi isyarat untuk menerima itu. Dalam hati Satya tahu kalau Ara akan dapat penolakan lagi. Mungkin selama Pram dinas Ara bisa jadi teman untuk Fira. Satya adalah pegawai negeri dalam instansi kemenkumham mungkin tentang itu sudah pasti Ara tahu. Karena rumah Ara dan Satya tak begitu jauh, jika pria itu sedang lari maka Ara akan siap meninjau dan melihatnya dibalik jendela. Dulunya ia mendaftarkan diri menjadi polisi namun, kegagalan dua kali membuat ia mencoba dibidang lain yaitu menjadi sipir dan penempatan di kota Jakarta.

"Aku...."

"Satya bolehkan?" Tanya Fira yang antusias.

"Boleh kok. Asal kamu mau dengar titahku untuk makan."

Ara ragu untuk mengirim pesan tentang keberadaanya pada Pram. Jika ia masih berada di kota ini maka mudah untuk dirinya bertemu Defan. Ia akan mencoba menemui anak itu di sekolahnya. Bukan namanya rumah sakit jika tak banyak orang. Ia  telah menulis beberapa kata dan menghapusnya kembali. "Kamu harus mengabari Mas Pram," ujar Ara berbicara pada dirinya.

Mas aku isin mau menginap di rumah mama....

Ara kini telah menambah catatan dosa pada Pram.  Menilik masalah yang ada mungkin ini adalah alasan paling tepat daripada menghancurkan hubungan Oma dan Pram. Pesan itu hanya tercentang satu.

***

Defan berlarian menghamburkan mainan power ranger miliknya ke lantai. Ini bukti tak terima atas kepergiaan Ara. Ia berlari terus hingga Bii Inem kesusahan mengimbangi lari anak usia empat tahun itu. "Oma jahat, mama aku nggak ada lagi. Aku mau mama."

Dengan nafaas memburu Bii Inem datang ke Oma. "Bagaimana ini Oma. Defan terus cari mama Ara nya."

"Biarkan dia begitu. Sampai kapan dia akan kuat menjadi nakal."

"Oma aku mauu mama Ara."

"Defan mau ke mall sama Oma. Nanti kita beli ice cream sama mainan baru," bujuk wanita paruh baya itu.

"Nggak mau. Aku maunya mama."

"Biii, urus Defan. Kalau dia tidak mau tenang kunci dalam kamar saja "

"Ayo nakk. Nanti mamanya akan kembali tapi kalau Defan nakal.... Bibi nggak akan janji."

"Yang bener?"

"Kalau gitu suruh mama cepat pulang."

Bii Inem menggaruk kepala tak tahan ingin berkata pada Defan bahwa mamanya mungkin tak akan kembali lagi. Namun dengan sigap ia mencoba mengajak Defan bermain untuk melupakan segala tuntutan dan pertanyaan yang ia lontarkan. Bii Inem kesulitan berpikir jika pertanyaan itu terus diulang-ulang.

PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang