10. Ara or Mika.

1K 47 0
                                    

Aku selalu mempunyai tujuan untuk kamu agar bahagia walau harus mengorbankan kebahagiaanku.

Mina menghindar dari jangkauan Araya. Belum sempat gadis itu menjabat tangan mamanya. Namun dengan wajah yang kecut ia menggerakan kursi rodanya.

"Kak Ara ayo makan!" titah Mika dengan setelan seragam yang telah lengkap.

"Kakak banyak urusan."

"Seengaknya makan dulu."

"Nggak usah. Kakak mau cari pekerjaan."

Ia mencoba hal yang semestinya bisa meredakan rasa stressnya. Yah kerja, apalagi uangnya semakin menipis diakibatkan ia tak kerja selama sebulan. Araya rajin mencari info tentang longsor yang terjadi. Para Tentara serta relawan dan basarnas telah dipulangkan. Kondisi desa disana perlahan membaik seiring pengerjaan infrakstruktur yang mulai dilakukan pemerintah.

Toko bakery Wulandari terpampang jelas dihadapanya. Ia mencoba kembali ke tempat kerjanya yang dulu. Tatapan sinis menyambutnya lebih awal. Terutama Rania karyawan lama dan sekaligus mantan rekan kerjanya.

"Udah puas pacaran," ujar Rania tanpa pandang bulu.

"Aku mau ketemu mba Wulan."

"Mau kembali kerja. Tapi sayang lowonganya nggak ada sama sekali."

Araya tersenyum melihat perempuan dengan kardigan pink menuju kearahnya. Tak peduli bagaimana ucapan Rania yang ketus sedari tadi. Telinganya sudah terbiasa mendapat cacian seperti itu.

"Yang dikatakan Rania itu betul. Tak ada lowongan disini. Saya sangat kecewa dengan kamu yang bolos kerja waktu dulu."

Araya menelan pil pahit lebih awal. Ia tak tahu resiko besar yang menanti ketika memutuskan menemani Satya untuk beberapa hari hingga membuatnya bolos kerja. Dengan langkah pelan ia keluar dari ruangan itu. Tak ada harapan lagi bisa mendapat posisi di tempat itu.

Sudah beberapa kali ia singgah pada toko dan hasilnya tetap sama. Di zaman sekarang pendidikan dengan latar SMA hanya mampu menjadi karyawan ataupun lain sebagainya. Araya mengusap keringatnya meski begitu matahari tak akan pernah berhenti walau hanya untuk menaungi gadis itu. Ini adalah hakikat kehidupan tentang bagaimana cara orang dapat bertahan hidup.

Pippppp

Glakson mobil menghentikan langkah Araya. Ia memicingkan mata melihat sosok yang menghampirinya.

"Mau kemana?"ujar Satya.

"Cari kerja."

"Aku anterin boleh," Satya tahu mata Ara seolah liar dan mencari sejuta alasan untuk menolaknya.

"Nggak usah deh."

"Aku tau jawaban kamu pasti itu. Ayo naik."

Tak banyak yang dibicarakan kedua insan itu. Satya mencoba mencairkan suasana dengan perlahan. Ia sesekali melirik namun gadis itu tak banyak berkutik dan masih setia dengan posisinya saat ini. Araya mengecek ponselnya mungkin saja ada lowongan yang bisa ia masuki.

"Ara, aku harap kamu dapat lelaki terbaik untuk jadi pendamping kamu."

"Ehh iya," ujar Araya tampak belum siap menjawab pertanyaan Satya.

"Kalau kamu butuh bantuan. Kamu bisa bilang sama aku." Hal ini yang justru membuat Araya selalu kagum dengan Satya. Bagaimana intonasi suaranya yang lembut dan caranya memperlakukan wanita. Araya dengan cepat mengusap wajahnya dan mencoba menetralisir pikirannya.

"Kak Satya berhenti di depan toko itu," titah Araya. Semakin lama ia berada di mobil dengan rentetan perlakuaan Satya. Itu bisa membuatnya semakin sesak.

Baru saja tangan Araya menyentuh pintu mobil. Satya langsung menegurnya. "Tunggu sini!"

Sedetik ia merasa diperlakukan bak putri dengan pangeran. Jika perlakuanya dengan seorang teman seperti ini lantas bagaimana dengan istrinya.

"Makasih banyak. Salam untuk Kak Fira."

Mina telah menunggu kedatangan Araya sejak tadi. Sang anak mengulas senyum tipis sembari melepaskan kaus kakinya. "Udah makan Maa?" tanya Araya.

"Sudah."

"Mama mau bicara sama kamu."

"Ya."

"Kali ini mama serius kalau kamu nggak mau terima Aldi. Biar Mika yang menikah dengan Aldi." Mina telah memikirkan matang-matang apa yang diucapkanya. Ara tertegun sejenak, ia tahu bahwa Mika ingin melanjutkan pendidikanya. Justru Ara selalu berjanji untuk mengusahakan apa keinginan Mika.

"Ara nggak setuju soal itu. Mika punya mimpi yang besar buat lanjut sekolah. Sampai kapan sih mama harus tekan kita kayak gini," ujar Araya dengan nada frustrasi. Ia memijat pelipisnya dan mulai pusing dengan permasalahan yang terus menerus bertambah.

"Kalau begitu biar Mika saja yang menikah." Mina tahu seberapa tangguh prinsip Araya namun, tetap anak sulungnya itu punya kelemahan. Ara jauh dari sikap pendendam namun tingkat kepedulian gadis itu terhadap orang sekitar terlebih adiknya, tidak diragukan lagi.

Araya mengambil nafas panjang seraya menyetujui keinginan mamanya tersebut. Justru bukan ini yang ia inginkan namun, dalam keadaan terdesak, ia menyetujuinya. Mengorbankan impian Mika tak akan mampu ia lakukan.

"Kita tidak butuh waktu lama untuk melangsungkan pernikahan."

"Semuanya tergantung mama. Araya capek." Belum usai ibunya bicara Ara kini mengurung dirinya dikamar. Tak peduli bagaimana Mika memanggil namanya berulangkali.

"Kak Ara, aku habisi nih makanan kalau kakak nggak mau keluar," tutur Mika yang belum menyentuh makananya sejak tadi. Ia memperhatikan ekspresi mamanya yang datar. "Mama buat apa lagi sama Kak Ara?"

"Bisa nggak kamu percaya sama mama kali ini," ujar Mina yang tak ingin memperpanjang permasalahan.

Pramudya membuka pintu rumah yang kini redup bagaikan tak berpenghuni. Ia selalu membawa kunci rumah cadangan saat orang dirumah tak ada.

Suasana hening menyambut Pram. Sungguh badanya saat ini remuk. Selangkangnya pegal membawa tas yang begitu berat. Sisa tanah merah masih mekekat pada sepatu miliknya. Ia tak punya waktu untuk sekedar membersihkan sepatu hingga bersih.

"Bii," panggil Pram. Ia tahu kondisi rumah ini memang selalu sunyi dan gelap. Entah mengapa para penghuni disini lebih cepat tidur dari manusia biasanya. Hanya satu panggilan sebelum ia merasa pembantu rumahnya memang sudah terlelap. Ia kembali menggurungkan niatnya seraya membawa tasnya.

Pram membuka baju dan hanya bertelanjang dada seraya menghirup lekat kehangatan kamarnya. Semuanya masih sama dengan dominasi warna abu-abu. Belum lama ia menutup matanya suara benda terjatuh kembali mengusiknya.

"Siapa itu?" ujarnya dalam kegelapan. dengan cepat ia menyalakan lampu dan matanya tertuju pada gadis yang membuanya kepikiran akhir-akhir ini.

"Mas Pram?" tanya Nina tanpa berkedip.

"Duduk."

Pramudya telah banyak pertanyaan yang ingin dicecar pada Nina. Entah mengapa ia ingin menayakan langsung dan sekarang. "Jujur sama kakak. Kenapa kamu bohong selama ini dan merubah identitas menjadi Nina?" Pramudya tak meninggikan suaranya namun setiap suaranya terdengar tegas. Justru saat ini Nina merasa ketakutan.

"Arin lakuin semua ini untuk kurangi depresi. Aku nggak sanggup bawa beban ini selama hidup aku makanya aku ikut jadi relawan."

Pramudya sadar empat tahun lalu Arin memiliki trauma mendapam. Hampir setahun ia depresi dan kini masih terbayang masa lalu kelam miliknya. Ia tak sanggup memarahi Arin seperti itu dengan sekali tarikan ia memeluk erat sang adik.

"Kakak hanya khawatir sama kamu. Apapun yang kamu inginkan katakan sama kakak. Oke little girl." Terulang berkali-kali dimana ia akan melunak ketika berbicara dengan Arin. Baginya tak banyak anggota keluarga yang berada disisinya untuk itulah ia mencurahkan kasih sayanganya pada Arin lebih dari apapun.

"Aku harap suatu saat nanti aku bisa lihat Mas Pram menikah!"

PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang