11. Aku pamit....

1.1K 43 0
                                    

Jika seutas perkataan tak pernah kau percayai. Jadi buat apa lagi aku disini bersamamu.

Satu bulan berlalu.......

Semua sisi rumah Ara kini telah dilengkapi dengan berbagai jenis bunga. Pesta yang diadakan meriah dan disambut dengan Mina yang bisa kembali berjalan dengan utuh. Kini ia tersenyum sumringah mendapati impianya telah menjadi kenyataan. Walau dengan beberapa kejadian pelik.

Tak seperti Araya yang menutupi dirinya dengan selimut tebal. Bahkan setitikpun badanya tak terlihat. Ia terus merintih menahan apa yang ia rasakan. Alarm sholat subuhnya terus berdering membuyarkan getir akan menghadapi kenyataan esok.

"Kak Ara dipanggil mama," ujar Mika yang menerobos masuk.

"Iya nanti kakak kesana." Mika menatap intens Ara, walau ia tahu tak ada cara untuk dirinya menentang Mina. Mata kakaknya masih tersisa guratan kesedihan.

"Mika tau kalau kakak nggak bahagia. Apa ada cara untuk Mika bisa bantuin kakak." Mika berterus terang dan tak tega melihat Ara terus menunduk dan tak kuasa mengangkat wajahnya.

Mika terkesiap saat Ara memeluknya erat. penekanan gadis itu bahkan membuat Mika merasa Ara terluka begitu hebat. Cengkraman dan caranya menangis terkesan menyayat hati. "Kakak nggak sanggup lagi. Tolong peluk kaka erat!!"

Mika mengelus sembari menguatkan Araya. Saat ada keperluan mendesaknya Araya selalu bangkit dan menemaninya. Perbandingan Mika dengan K akaknya jauh berbeda kalau iya akan secara terang-terangan menolak Mina maka lain dengan Araya yang selalu berakhir dengan mengalah. Hal tersebut terus menerus berulang hingga ia sadar lingkungan ini kerap kali melukai hati kakaknya.

"Aku rela berkorban untuk Kak Ara. Sekarang aku dipihak Kakak. Jadi bagaimana dan apa rencana Kak Ara."

Mina menyuruh kedua putrinya sarapan pagi terlebih dahulu. Sebelum bersiap menyambut acara pernikahan Aldi dan Araya.
"Mika, setelah ini temani Kakak kamu dandan karena sebentar lagi Mba Riri datang," ujar Mina yang tidak tenang jika Araya dibiarkan berdua dengan penata rias. Mika mengangkat alisnya sebelah seraya menyeruput teh manis dihadapanya.

"Aku akan pergi Mika dari tempat ini," ujar Araya berterus terang pada Mika.

"Keputusanya udah bulat?"

"Ada hal yang udah aku jelasin sama mama tapi percuma dia lebih percaya sama Aldi kan."

Mika tau apa yang perlu ia lakukan sekarang sebelum semuanya terjadi. Pintu diketuk sedari tadi, Araya mentap balik ke Mika yang memberikan kode tenang untuk kakaknya.

"Masuk Mbak!"

"Ara yang mana?"

Mika memegang tangan Araya yang mendingin sedari tadi. Walau begitu ia meninggalkan Ara dan keluar sejenak untuk mengurus sesuatu hal.

Ponsel Riri terus berdering sedari tadi. Padahal make up Araya hanya tinggal sedikit lagi. "Mba angkat aja dlu," ujar Ara. Riri tak kuasa menatap kesal ponsel miliknya tersebut.

"Halo, ini siapa?"

"Maaf Mbak saya ingin berbicara dengan anda untuk jasa peras pengantin. Tapi jaringan Mbak sepertinya buruk disana." Sambungan telpon tersebut putus begitu cepat. Riri meminta izin mencari jaringan yang baik dan tempat yang agak tenang.

Mina yang melihat Riri keluar dari kamar dengan ponsel yang diangkat turunkan sejak tadi merasa aneh. Ia ingin mendekat namun katering makananya telah datang dan menunggu persetujuan tempat yang cocok untuk meja prasmanan.

Mika datang menerobos pintu Araya dengan cepat. Ia membantu kakaknya untuk berganti pakaian segera dan tak merisaukan perlengakapan baju ataupun segalanya karena Mika telah memasukkanya di tas ransel yang telah duduk manis di mobil pilihanya. "Ayo Kak, nggak ada waktu lagi sebelum Mba Riri kembali."

"Mik, Makasih yah." Mika tak banyak berbicara dan membantu kakaknya melompat dari jendela. Untung saja ia mempersiapkan hoodie oversize yang mampu menutupi penyamaran Araya.

"Kak tunggu!"

"Ini uang untuk Kak Ara," ujar Mika menyodorkan amplop putih sebelum orang bisa melihat apa yang dilakukan keduanya. Mika telah mempersiapkan segapa hal bahkan untuk hal detail apapun. Mobil yang akan membawa Ara telah parkir sedari tadi ia menunggu aba-aba dari Mika ketika sosok Ara terlihat.

"Sini Woyy," ujar seseorang berteriak dibalik jendela mobil. Ara langsung paham dan tanpa panjang lebar memasuki mobil orang tersebut.

Mina terkejut bukan kepalang melihat kamar Araya yang kosong. Tak ada Mika ataupun penata riasnya. "Mika." panggil ibunya dengan raut kemarahan.

"Aranya mana?" ujar Riri gelagapan dan mendapati Mina yang berdiri menghadap jendela kamar anak gadisnya tersebut.

"Kamu lihat Ara kabur. Kenapa kamu meninggalkan dia sendirian. Haaaa," bentak Mina yang mulai lepas kontrol. Ia mengambil ponselnya dan tertuju pada satu nama yang tak lain adalah Aldi.

"Maaf Buu."

"Sudahlah semuanya sudah terjadi." Mina tak mungkin terus menerus memarahi Riri. Lebih baik ia segera menghubungi sang calon yang sekranya masih dalam perjalanan.

Para tamu saling bergosip dengan asumsinya masing-masing. Sadar dengan apa yang terjadi Mika tampak seolah tak menyadari apapun.

"Mika. Katakan sama mama kalau kamu yang biarin Ara pergi. Jawab?"

"Nggak Maa." Mika tampak lihai mengontrol diri dan dengan mudah membuat raut wajahnya terkejut.

"Kamu kira Mama akan maafin apa yang dilakuin Kakak kamu. Sekali lagi Mama nggak beruntung punya anak seperti Ara." Mina menjadi pusat perhatiaan. Para tetangga tahu akan kesopanan Araya dilingkunganya. Orang yang rajin dan telaten dalam bekerja bahkan ia hanya terlihat ketika pagi berangkat kerja ataupun pulang menjelang maghrib.

"Jangan gitu. Ara tetap anak kamu," celetuk salah seorang tetangga Mina.

"Kalian bubar sekarang. Tak ada pesta pernikahan disini." ujar Mina dibalas riuh para tamu yang meninggalkan dengan perasaan kesal.

Aldi masuk dengan para rombonganya. Bahkan ia hanya mendapati Mina tertunduk lesu pada kursi kebesaran yang harusnya milik ia bersanding.

"Ada apa ini? Mana Araya."

Mina bersimpuh dihadapan Aldi sekeluarga sembari meneteskan air mata. Tak telak Aldi mengetahui kemungkinan yang paling dibencinya.

"Ara kabur Nak."

"Apa?" dada Aldi bergemuruh dan tak kuasa menahan emosinya. Ia melempar vas bunga sembarang. semuanya hanya menutup telinga mendengar suara vas itu terus menerus dihancurkan. "Ini salah anda," ujar Aldi menunjuk calon ibu mertuanya tersebut. Namun sekarang nihil Araya pergi tanpa jejak.

"Kalian dengar. Saya tak terima dengan apa yang diperbuat Ara kepada saya."

"Maafkan tante," Mika berusaha menarik Mina yang tertancap di ujung kaki Aldi.

"Pergilah." Mina terhempas oleh Aldi, hampir saja ia tersungkur namun Mika meraih lenganya cepat.

"Tante harus membayar mahal-mahal perbuatan Ara."

Dibalik gemerlap kota Jakarata yang berbanding terbalik dengan hatinya yang suram. Jauh dari keluarga telah menjadi resikonya. Bahkan mengingat untuk kembali terasa perih saat memikirkanya. Ia termenung memeluk ranselnya akan dimanakah dirinya berlabuh. Walau begitu ia juga memikirkan bagaimana situasi Mika disana. Semakin terperosok dengan pikiranya dan tak sadar perutnya terasa lapar.

Araya berjalan ke warteg yang masih buka di jam tengah malam. Ia menatap nanar amplop uang yang diberikan Mika. Itu adalah hasil tabungan dari uang jajannya di sekolah. Meski begitu ia tahu betul bagaimana Mika menyisihkan uang demi ke taman safari.

"Mau beli nggak Mbak? Kalau nggak wartegnya udah mau ditutup."

"Pesan nasi kuning sama lauk tempe."

"Ok, segera!"

Araya mengingat satu nama yang mungkin bisa membantunya. Ia menyimpan kontak nomor Nina. Hanya dialah satu-satunya orang yang Ara kenal dan tinggal di Jakarta. Dengan cepat ia menghubungi nomor tersebut.

PRAMUDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang