Tenggara siap jika harus hidup selama seratus tahun hanya untuk menjaga dan melindungi Nero. Tenggara mampu sampai tua nanti, harus terus mengikuti langkah Nero sampai kapan pun. Namun, Tenggara tak akan pernah sanggup bila sehari saja tanpa Nero.
Dunia seolah berhenti berputar pada saat itu. Tenggara ingat, saat kecelakaan enam bulan lalu. Kecelakaan yang hampir merenggut Nero, bila saja dia tidak datang tepat waktu.
Efek dari kecelakaan itu teramat besar bagi Nero atau pun Tenggara. Trauma yang Nero alami, membuat Nero terkadang harus terjaga setiap malam. Belum lagi, kaki nya yang masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat. Bahkan pada saat itu, Nero harus cuti selama setengah tahun untuk pemulihan.
Selepas malam tadi melakukan diskusi panjang dengan Marlon, Ezra dan juga Lian, Tenggara tak sempat untuk melihat Nero di kamarnya. Baru pagi ini terealisasi, dan Tenggara lagi-lagi harus menelan kenyataan pahit. Nero demam, lagi. Dengan suhu yang cukup tinggi sampai membuatnya kelimpungan karena panik.
"Bangun dulu. Mau muntah?" Tenggara membantu Nero duduk. Menepuk punggung Nero lembut.
Nero mengangguk lemah. "Anterin ke kamar mandi, Bang." ucapnya lirih. Lalu dengan segera, Tenggara membantu Nero ke kamar mandi. Suara muntahan Nero sangat menyayat hati, bahkan Tenggara sampai membuang muka karena tak tega.
Setelah dirasa cukup, Nero mendongak menatap cermin. Bibirnya tersenyum miris kala melihat Tenggara memalingkan muka. "Bang ... jijik, ya?"
Pertanyaan Nero berhasil membuat Tenggara tersentak. Sama-sama melihat ke arah cermin, Tenggara tahu, bila Nero salah paham dengan tindakannya barusan. "Gue nggak jijik. Cuma nggak tega. Perut lo masih sakit? Mau ke rumah sakit aja? Atau, panggil Dokter Farid ke sini gimana?"
"Ck! Gue nggak pa-pa, nggak usah lebay! Ini cuma demam biasa doang. Nanti juga baikan sendiri kalau gue tidur."
"Yakin?" Ragu-ragu, Tenggara memastikan.
"Iya, Bang. Lagian, 'kan, efeknya memang gini. Masa gitu aja masih kaget. Aneh, lo!"
Sembari membantu Nero berjalan kembali ke kasur, Tenggara membalas. "Gue nggak akan pernah terbiasa lihat lo sakit. Rasanya takut aja. Panik gitu. Malah kayanya, lebih takut daripada lo."
Nero justru tertawa. Menarik selimut, Nero hanya menyisakan bagian wajahnya. "Bang," panggilnya, menatap Tenggara lekat-lekat.
"Hm? Butuh sesuatu? Atau mau minum air hangat?"
"Ck! Bukan!" Nero memutar bola matanya. Kesal dengan Tenggara. "Gue cuma mau bilang, makasih banyak. Makasih karena lo selalu sabar menghadapi semua tingkah gue selama ini. Lo bahkan nggak benci gue, setelah apa yang gue lakuin ke lo. Maaf, gue bisanya cuma ngerepotin."
Tenggara diam sejenak. "Gue ada pernah bilang kalau lo ngerepotin nggak?" tanyanya.
Gelengan lemah Nero berikan. "Nggak pernah. Tapi gue ngerasa gitu, Bang. Gue banyak banget ngerepotin lo selama ini. Apalagi sejak kecelakaan itu, dan gue yang sering sakit-sakitan. Beban lo makin bertambah. Kuliah, ngurus perusahaan, belum lagi ngurus gue. Duh, gue bener-bener seenggak berguna itu, ya, Bang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Tenggara
Teen FictionTenggara, tak akan pernah tenggelam sebelum mereka menemukan bahagia. @aksara_salara #071123