"Wisuda diundur jadi tanggal 28. Masih ada waktu lah buat kita santai-santai, sekalian cari kerja." ucap Elang, yang saat ini tengah berbaring di atas ranjang Tenggara. Menatap langit-langit kamar Tenggara yang berwarna putih cerah. "Ck! Pilihan warna lo terlalu monoton. Apaan, masa semua kamar cuma di cat warna putih begini?"
"Bacot! Gue nggak norak kayak lo, yang kamarnya di cat warna kuning. Iyuh, semua orang harus tahu, kalau salah satu pangeran kampus yang mereka puja, punya selera yang norak." Tenggara yang tengah sibuk mengetik sesuatu di laptop, menyahut.
"Wah! Ini termasuk pembullyan. Gue bakal laporin lo ke KOMNAS HAM!"
"Alay!" Kemudian Tenggara berbalik, menatap Elang. "Gue boleh minta tolong?"
"Apaan? Kalau aneh-aneh, gue nggak mau."
"Denger dulu! Tolong ke kamar Nero, ajak di makan. Soalnya dia belum makan siang."
Elang bangkit, kini duduk di tepi ranjang. Duduk berhadapan dengan Tenggara yang berada di meja belajarnya. "Kenapa bukan lo aja, sih? Mager gue mau jalan ke sana."
"Jarak kamar gue sama kamarnya Nero nggak ada lima meter ya anjir! Buruan tolongin gue! Kalau sama lo, dia pasti nurut. Entah kenapa, gue pikir-pikir, Nero agak ngejauhin gue."
"Lo sadar nggak, kenapa dia begitu?" Tatapan Elang jatuh pada wajah Tenggara yang terlihat murung. Mendapat jawaban berupa gelengan kepala, Elang mendengkus kasar. "Karena lo sendiri yang buat dia bad mood. Setiap ada di deket dia, lo cuma bahas kematian. Seolah, lo nggak kasih ijin Nero untuk nerima semuanya. Padahal, ada banyak hal yang bisa lo lakuin. Kayak, dengerin dia cerita, temenin dia makan, atau, ajak dia jalan-jalan. Biarin Nero mengukir waktu yang masih ada."
Tenggara terdiam. Apa benar seperti itu? Jadi, alasan Nero bersikap agak dingin padanya, karena tidak ingin mendengar dirinya mengucapkan kata perpisahan seperti itu?
"Jangan tambah lagi trauma dia tentang kehilangan. Waktu kehilangan bokap lo, dia masih belum ngerti apa-apa. Bahkan, bokap lo juga nggak sempet pamit, 'kan, sama lo berdua? Nah, tolong jangan ulangi hal yang sama. Gara, kematian itu rahasia Tuhan. Selagi lo masih mampu menarik napas, manfaatkan semua waktu lo untuk orang-orang berharga dalam hidup lo." Elang menambahkan.
Ekspresi wajah Tenggara berubah. Yang tadinya murung, kini terlihat agak cerah. Benar, mengapa dia tidak mencoba untuk menghabiskan waktu berdua dengan Nero? Daripada meratapi nasib, dan ketakutan setiap saat.
"Thanks! Gue nggak tahu, kalau ternyata otak lo sepinter ini. Tolong jaga rumah gue. Gue pergi dulu." Tak mengijinkan Elang mengeluarkan protesan, Tenggara berlari keluar setelah meraih jaket dan dompet miliknya.
Pintu kamar tertutup kasar, membuat Elang tersenyum tipis. Lalu, Elang memejamkan mata. Mengingat kembali awal pertemuannya dengan Tenggara. Apa pun yang akan terjadi nanti, Elang sudah menerima semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Tenggara
Teen FictionTenggara, tak akan pernah tenggelam sebelum mereka menemukan bahagia. @aksara_salara #071123