18. Kakak Terbaik

738 80 20
                                    

Angin berhembus dengan cukup kencang bersama dengan rintik hujan yang mulai datang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Angin berhembus dengan cukup kencang bersama dengan rintik hujan yang mulai datang. Tenggara menyibak gorden kamarnya, hingga menampilkan halaman samping rumahnya yang mulai basah karena air hujan. Membuang napas panjang, Tenggara mulai memperhatikan setiap tetes air hujan yang mulai jatuh, di tepi kaca jendela miliknya.

Bersamaan dengan itu, pintu terbuka oleh sosok Nero. Dengan membawa dua gelas berisi kopi untuk menemani keduanya. Tadi, Tenggara yang memang meminta Nero untuk datang ke kamarnya.

"Bang, River udah ijin sama lo, kalau mau pulang ke Bandung, 'kan?" tanya Nero membuka suara. Menoleh ke samping, Nero melihat sisi profil wajah Tenggara.

"Iya. Semoga masalah dia dan orang tuanya cepet selesai. Jadi, biar adil. Jehva udah dapet bahagia, River juga harus dapet hal yang sama."

"Setuju! Dengan begitu, gue juga tenang. River sama Jehva sama-sama pantas buat bahagia. Semoga papanya River bisa luluh sama neneknya."

Tenggara tertawa. "Kalau lo, lo gimana? Nggak pengen bilang sesuatu ke gue gitu?"

"Hm? Bilang apa?" Lagi, Nero menoleh dengan raut wajah bingung. "Oh, gue paham. Apa menurut lo, gue juga bakal nuntut hal yang sama untuk dapet kebahagiaan itu? Sebelum gue punya pikiran ke sana, untungnya, sih, gue udah sadar duluan Bang. Sadar, kalau gue nggak mungkin bisa kayak River dan Jehva."

"Kenapa nggak bisa? Lo aja belum coba."

Terdiam sejenak, Nero lalu membalas. "Bunda nggak semudah itu diluluhin hahah. Gue selama ini juga sadar kali, kalau Bunda itu nggak bener-bener sayang sama gue. Kalau Bunda sayang, dia nggak mungkin setuju sama niat suaminya yang mau bunuh gue."

Terdapat senyum sendu di bibir Nero. Berniat menghibur, Tenggara merangkul bahu yang lebih muda. "Gue mau tanya satu hal sama lo. Tolong jawab yang jujur." ucapnya kemudian. Selama beberapa detik itu, Tenggara hanya menatap Nero. Nero sendiri tak tahu apa arti tatapan Tenggara malam ini. Karena tatapan itu ... cukup rumit untuk dimengerti. "Kalau gue pergi, lo bakal gimana?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Tenggara. Pada awalnya, Nero cukup tersentak karena tak menyangka akan pertanyaan yang Tenggara berikan. Namun, dengan cepat pula Nero berusaha menguasai dirinya. Dengan hati-hati, Nero menjawab. "Kalau lo pergi, gue juga pergi, Bang. Karena gue cuma punya lo. Kenapa? Lo capek sama gue, dan mau ninggalin gue?"

Tenggara buru-buru menggelengkan kepala. "Bukan gitu. Dan harus lo tahu, kalau sekalipun gue nggak pernah punya niatan buat ninggalin lo. Gue juga nggak capek sama lo. Tapi Nero, nggak ada yang pernah tahu masa depan. Dan karena lo cuma punya gue, makanya gue mau memastikan apa jawaban yang bisa bikin gue tenang, kalau suatu hari gue harus ninggalin lo."

Walau masih tak paham akan apa yang Tenggara ucapkan, Nero masih terus membalas. "Gue bakal hancur, Bang. Hancur banget malah. Gue nggak bermaksud untuk membandingkan diri antara gue, River dan Jehva. Tapi saat lo nggak ada nanti, yang paling hancur itu gue. Bukan hanya karena gue adik lo, namun lebih dari itu. Sejak awal, yang gue punya cuma lo. Beda sama Jehva dan River yang sekarang masih punya keluarga mereka. Kalau satu rumah mereka hancur, mereka masih punya rumah yang lain. Sedangkan gue? Rumah gue cuma lo. Jadi, kalau satu-satunya rumah gue hancur, maka gue akan ikut hancur juga, Bang."

|✔| TenggaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang