•••
•••
"Udah, jangan khawatir. Adik kamu nggak pa-pa. Cuma demam biasa doang. Nanti juga udah bisa pecicilan. Jangan lupa, nanti pas dia bangun, langsung suruh makan. Obat juga jangan lupa diminum. Oh, satu lagi, jangan terlalu biarin dia ngelakuin aktivitas berat dulu, soalnya kakinya masih belum sekuat itu." ucap Dokter Farid, dokter pribadi yang dulu juga sempat membantu pengobatan Ayah.
Tenggara mengangguk sebagai tanggapan. Memastikan semua ucapan Dokter Farid telah di sanggupi, Tenggara kemudian mengantar beliau sampai pintu.
Hari ini, yang berada di rumah hanya Tenggara dan Nero. Jehva memang tidak ada kelas, tapi cowok itu pasti bekerja. Sedangkan River, cowok itu harus datang ke kampus untuk membahas tentang masalah kelompoknya. Yang Tenggara tak salah ingat, jika River dan beberapa teman kelompoknya terlibat keributan. Karena beberapa di antara mereka enggan untuk bekerja sama.
Tenggara memutuskan untuk membuat bubur, sebelum naik ke kamar Nero. Saat pintu terbuka, sosok Nero yang tadinya terlelap, kini sudah terjaga. Cowok itu masih berbaring, namun matanya mengedar menatap sekitar.
"Gue pikir lo koma. Sampe bikin gue takut. Saking takutnya gue, gue sampe harus nelepon Dokter Farid ke sini. Padahal cuma demam biasa doang. Tapi lo udah berhasil bikin gue takut. Gimana keadaan lo?" kata Tenggara panjang lebar. Mengabaikan tatapan penuh tanya dari Nero.
Sejenak, Nero berusaha untuk mengumpulkan ingatannya tentang malam tadi. Semalam, dia hanya duduk di balkon kamar untuk mengerjakan tugas. Hanya itu. Sampai jam berapanya, dia sendiri tidak ingat.
"Lo demam gara-gara kelamaan di luar." Seakan mengerti dengan pikiran Nero, Tenggara berceletuk demikian. "Hari ini jangan kemana-mana dulu. Lain kali, jangan suka duduk di luar kayak gitu. Apalagi kalau malem. Anginnya kenceng, dan tubuh lo belum terbiasa akan itu. Paham?"
"Lemah banget nggak, sih, gue Bang? Perkara kena angin doang sampe bisa jadi demam."
"Ck, jangan mulai deh. Nih, makan dulu, habis itu minum obat. Atau mau ke kamar mandi dulu?"
"Kamar mandi dulu, deh. Bantuin gue." Nero mengulurkan tangan, berniat untuk meminta bantuan pada Tenggara. Uluran tangan tersebut langsung diterima oleh Tenggara tanpa banyak protes.
Karena masih demam, Tenggara melarang Nero untuk mandi. Jadi, Nero hanya membasuh wajahnya, serta menyikat gigi. Setelah selesai, Nero kembali ke tempat tidur dibantu Tenggara.
Dengan telaten pula, Tenggara mulai memperhatikan Nero yang mulai menyuapkan bubur ke dalam mulutnya. Sebenarnya tadi Tenggara berinisiatif untuk menyuapi Nero, namun karena gengsi Nero yang sebesar Gunung Fuji, alhasil niat baiknya di tolak mentah-mentah.
"Tenggara! Nero! Dimana kalian?!"
Suara keras itu membuat Tenggara dan Nero tersentak. Baru saja Tenggara bangkit, pintu kamar Nero terbuka dengan kasar. Tatapan Tenggara berubah tajam, dan buru-buru mendekat ke arah Nero, untuk melindungi adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Tenggara
Ficção AdolescenteTenggara, tak akan pernah tenggelam sebelum mereka menemukan bahagia. @aksara_salara #071123