"Jadi, gimana keputusan bokap sama nyokap lo?" tanya Tenggara, pada River yang saat ini duduk di depannya. Siang tadi, pukul dua, River baru saja sampai di Jakarta dan langsung mengajak Tenggara untuk berbicara. Namun, River merasa ada sedikit keanehan pada situasi rumah begitu dia sampai. Rumah sangat hening, hanya ada Tenggara di sana. Jika Jehva, River tahu bahwa laki-laki itu pasti bersama kedua orang tuanya. Tapi Nero? River belum bertemu Nero sejak sampai hingga saat ini.
"Nenek bilang ke mereka, kalau Nenek mau mereka memperbaiki kesalahan masing-masing. Mereka cuma butuh komunikasi aja, Bang. Jadi, Nenek ngasih mereka waktu berdua untuk bicara. Mama sendiri, maunya tetep sama Papa, dan mau menyelesaikan masalah mereka sampe bener-bener selesai. Untungnya, Papa juga setuju. Sekarang mereka lagi di Batam, sekalian ketemu sama kolega dan ngabisin waktu berdua. Gue cuma berharap, bahwa semuanya akan baik-baik aja, Bang."
Tenggara tersenyum. "Gue yakin, semua akan baik-baik aja."
"Gue juga berharap gitu. Karena, cuma mereka yang gue punya. Selama bertahun-tahun ini, gue nggak pernah ngerasa punya sosok orang tua, padahal orang tua gue masih hidup. Gue cuma minta ke semesta, untuk ijinin gue bahagia bareng Mama dan Papa." River menatap lekat wajah Tenggara yang sedikit pucat. "Bang, lo sakit?" Kemudian pertanyaan itu terlontar begitu saja.
Menyadari tatapan khawatir River, Tenggara buru-buru menggelengkan kepala. Seraya berjalan ke arah dapur, Tenggara menjawab. "Gue oke, kok. Oh, ya, boleh minta tolong? Tolong telepon Nero, suruh dia pulang."
"Kenapa nggak lo aja? Lo lagi berantem sama dia?" River mengikuti Tenggara ke dapur. Bedanya, jika Tenggara mulai memilah bahan masakan apa yang akan dia gunakan, River justru duduk di kursi meja makan. Memperhatikan punggung Tenggara dengan seksama.
"Nggak lagi berantem. Gue cuma minta tolong aja."
"Oke!" River tahu, jika Tenggara tengah menyembunyikan sesuatu. Sebagai seseorang yang kini telah sadar akan satu hal kesalahannya, River tak ingin ikut campur terlalu dalam masalah antara Tenggara dan Nero.
Baru saja River hendak mengambil ponselnya, sosok yang mereka bicarakan datang bersama Jehva. Jehva, dengan senyum lebar menyapa Tenggara dan juga River. Berbeda dengan Nero yang memasang wajah biasa saja, lalu duduk di samping River.
"Sampe kapan?" tanya Nero pada River.
"Tadi siang. Darimana lo? Kata Jehva, hari ini lo nggak ada kelas, 'kan? Kelayapan sama Marlon lagi?" Hubungan Nero dan Marlon entah mengapa semakin dekat setiap saat. Dibanding pergi dengan River atau pun Jehva, kini Nero lebih sering nongkrong bersama Marlon, Lian dan Ezra.
"Enggak. Gue nemenin Kak Elang lihat pameran lukisan. Sekalian temenin dia buat beli hadiah untuk nyokapnya." jawab Nero, sesekali melirik Tenggara yang tak mengatakan apa-apa.
Tanpa Nero tahu, ketika Nero menyebut nama Elang, genggaman Tenggara pada pisaunya semakin erat. Ada perasaan aneh yang kini membuat Tenggara marah. Namun, dia juga tidak tahu marah kepada siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Tenggara
Teen FictionTenggara, tak akan pernah tenggelam sebelum mereka menemukan bahagia. @aksara_salara #071123