Kedatangan ayah kandung Tenggara—Devano—membuat atmosfer di sekitar ruangan menjadi berat. Tatapan datar laki-laki itu mengunci apa yang ingin Nero ucap. Seolah, kehadiran Devano memang ditakdirkan untuk membuatnya bungkam.
"Papa! Akhirnya Papa pulang juga. Lihat, Pa, orang itu nggak sopan banget. Dari tadi bentak-bentak Mama. Dia bahkan ngomong kurang ajar tentang Kejora." Kejora, adalah satu-satunya orang yang berani membuka suara. Mendekat ke arah Devano, kemudian merangkul lengan laki-laki itu.
Nero menggeram marah sembari mengepalkan kedua tangannya. Sedangkan tatapan Kejora seolah mengejeknya. Tahu akan emosi Nero, Tenggara segera meraih bahu laki-laki itu, kemudian di usap pelan.
"Jangan marah. Menghadapi mereka bukan pake otot, tapi pakai otak. Soalnya mereka nggak punya itu." ucap Tenggara. Suaranya tidak keras, tidak juga pelan, dan masih mampu di dengar oleh semua orang yang berada di sana.
Kejora semakin marah. "Pa, lihat, 'kan? Anak Papa itu nggak sopan banget. Ayo, dong, Pa, ngomong sesuatu!"
"Kamu diam dulu." Akhirnya Devano membuka suara. Menatap putrinya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya pada Tenggara. "Ada perlu apa datang ke sini?" tanyanya pada Tenggara.
Tenggara tersenyum miring. "Harus ada alasan untuk datang ke rumah ayah kandung sendiri, Pa? Ini juga rumah aku, 'kan? Lebih dari dua puluh tahun, Papa nggak merasa bersalah sedikit pun? Papa kemana aja? Kenapa nggak pernah cari Gara? Papa nggak mau, atau di larang oleh wanita itu?"
"Tenggara. Jaga ucapan kamu." Walau Devano mengatakannya dengan nada biasa saja, semua orang mengerti, jika laki-laki itu tengah menahan emosi. "Papa pikir, kamu sudah meninggal. Papa juga sudah berusaha mencari kamu selama ini."
Mendengar itu, Tenggara merasa hatinya di remat kuat sampai remuk. "Lalu, Papa nggak berusaha cari mayat aku? Papa percaya gitu aja sama wanita itu? Aku nggak pernah tahu, kalau seorang manusia bisa bertingkah melebihi binatang yang nggak punya akal. Binatang saja masih akan melindungi anak-anaknya, dan nggak akan pernah memakan bangkai anaknya sendiri. Lalu Papa? Apa usaha Papa selama ini?"
"Tenggara! Beraninya kamu, menyamakan Papa kamu dengan binatang?!" sentak Vierra—ibu kandung Kejora. Urat-urat di lehernya menonjol, menandakan betapa marahnya wanita itu sekarang.
"Kenapa Anda marah? Kakak saya mengatakan hal yang tidak salah." Nero berdiri, menyahut ucapan wanita itu dengan santai. "Baik putranya masih hidup atau tidak, sebagai ayah, seharusnya Anda mencari putra Anda sampai dapat. Sekalipun yang Anda dapat hanya tubuh tanpa raga. Dua puluh tahun lebih, tidak ada usaha apa pun yang Anda lakukan untuk mencari dia." Nero beralih menatap Devano.
"Saya sudah berusaha mencari dia. Tapi karena istri saya mengatakan dia di culik, kemungkinan kecil bagi saya untuk mendapatkan dia lagi. Atas dasar apa kamu menuduh saya demikian?" Masih dengan suara tenang, Devano menjawab semua ucapan Nero.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Tenggara
Teen FictionTenggara, tak akan pernah tenggelam sebelum mereka menemukan bahagia. @aksara_salara #071123