Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Gue bilang juga apa, ngeyel banget lo jadi anak!" Tenggara menaikkan resleting jaket yang Nero kenakan. Padahal, Nero sudah protes berulang kali, jika cuacanya panas dan dia enggan menggunakan jaket. Namun karena melihat wajah Nero yang teramat pucat, Tenggara mengabaikan protesan dari yang lebih muda.
"Buruan naik!" Karena malas mendengar ocehan Tenggara lagi, Nero segera naik ke boncengan motor Tenggara. "Udah gue bilang berapa kali, kita naik mobil aja. Lihat sekarang, lo sakit, terus terpaksa kita pulang naik motor. Mana panas banget lagi. Lo juga nggak tahu taruh helm dimana. Astaga ... pusing banget gue!"
Tenggara masih saja mengomel, membuat Nero pusing. Sudah kepalanya sakit sejak tadi, kini di tambah dengan ocehan Tenggara yang tiada henti. "Bang, udah kek ngomelnya. Ini gue pusing banget. Bisa-bisa pingsan di sini gue."
"Ck! Terus aja keras kepala!" Dengan segera, Tenggara melajukan motornya meninggalkan parkiran fakultas Nero. Terpaksa, Tenggara harus memilih jalan tikus untuk menghindari polisi, sekaligus mencari bengkel yang menjual helm. Tenggara tidak ingin mengambil resiko akan tertangkap polisi jika nekat melewati jalan utama.
Di persimpangan tugu yang cukup jauh dari kampus, akhirnya, Tenggara menemukan bengkel besar yang juga menjual helm. Setelah membeli, Tenggara melanjutkan motornya dengan kecepatan tinggi. Di belakang, Nero sudah meletakkan kepalanya di punggung Tenggara. Pusing mendominasi Nero saat ini.
"Hei! Jangan pingsan anjir! Nero?!" Tenggara meraih tangan Nero yang melingkar di pinggangnya. Merasakan hawa panas dari kulit Nero. Lagi, entah decakan yang ke berapa kali, keluar dari mulut Tenggara. Rasanya ingin marah, tapi tidak tega.
Begitu sampai, Tenggara bisa melihat mobil milik Devano terparkir di halaman. Bersamaan dengan itu, sosok Devano yang masih mengenakan setelah jas keluar. Sontak Saja Devano mengerjap bingung kala menemukan Tenggara dan Nero.
"Lho, kok udah pulang, Bang? Katanya bakal pulang sore?" tanya Devano.
Dengan Nero yang bertumpu padanya, Tenggara menjawab. "Nero sakit, Pa. Papa sendiri kenapa udah di rumah?"
Raut wajah Devano berubah khawatir. Dengan langkah besar, laki-laki itu mendekat untuk membantu Tenggara membawa Nero yang sudah lemas. "Papa ambil file yang ketinggalan. Ini Nero nggak di bawa ke rumah sakit saja, Bang?"
"Mana mau anaknya. Nanti malah aku yang diambekin. Udah, biarin aja, Pa. Nanti setelah minum obat, kalau belum baikan, baru aku bawa ke rumah sakit."
Devano mengangguk saja akan keputusan Tenggara. Sedangkan Nero tak mengeluarkan suara apa-apa. Kini, dirinya hanya berusaha untuk fokus, untuk tidak tumbang di depan Tenggara dan Devano.
"Papa ke kantor aja. Urusan Nero, biar aku yang jagain." kata Tenggara saat melihat Devano masih duduk di tepi ranjang Nero.