23. Ini Papa, Ayo Bangun

1.4K 85 6
                                    

Dari banyaknya hal yang Elang sesali, adalah saat dirinya tak mampu untuk menopang Nero, untuk merangkul bahunya dan memberi ketenangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari banyaknya hal yang Elang sesali, adalah saat dirinya tak mampu untuk menopang Nero, untuk merangkul bahunya dan memberi ketenangan. Elang tak mampu, nyatanya, sekuat apa pun dirinya mencoba, dia tidak akan pernah bisa menggantikan Tenggara.

Saat di parkiran rumah sakit, kebetulan sekali, Elang berpapasan dengan Marlon. Keduanya tanpa menunggu lama, berjalan bersama menelusuri koridor rumah sakit. Pagi tadi, setelah Marlon dihubungi oleh Elang, Marlon segera bergegas ke rumah sakit.

"Nero!" Gema suara Elang mengalihkan pandangan Nero. Nero yang semula bersandar pada bahu Devano, mengangkat kepala untuk menatap Marlon juga Elang yang baru saja tiba. "Hei, lo nggak pa-pa? Udah makan?" Begitu sampai di hadapan Nero, Elang melayangkan pertanyaan.

"Kak ...," Mata sayu Nero menatap Elang penuh harap. Melihat itu, Elang tak sanggup. Laki-laki itu kemudian berjongkok di depan Nero, total abai pada laki-laki yang bahunya tadi l di jadikan tempat bersandar oleh Nero. "Bang Gara, Kak, Abang kritis ...," Suara Nero teramat lirih kala mengucapkan itu.

Sejenak, Elang memejamkan matanya. Sebisa mungkin menenangkan dirinya sendiri. "Kita berdoa, ya, semoga nggak ada hal buruk yang terjadi."

"Kak," Nero berhenti sejenak. Meredam denyutan di kepalanya yang semakin menjadi. Semalaman penuh Nero dan Devano tidak tidur. "Gue udah terima apa pun yang bakal terjadi. Abang kesakitan, gue nggak berhak nahan Abang lagi."

"Nero ... nggak, lo nggak boleh pesimis. Tenggara bakal baik-baik aja. Pasti."

Namun, Nero justru menggeleng lemah. "Abang udah pasrah. Selama ini, yang memberatkan Abang cuma ketakutan dia tentang gue. Seharusnya Abang nggak perlu kayak gini. Gue memang pantes dapet karma nya. Nyatanya, setelah semua orang bahagia, gue satu-satunya yang ditinggal di sini. Nggak masalah, Kak, asal Abang nggak kesakitan lagi."

Semakin menahan Tenggara, semakin Nero tahu, bahwa dia hanya akan membuat Tenggara semakin sakit. Untuk kali ini, Nero tidak ingin egois. Biarkan Tenggara memilih bahagia nya sendiri. Biarkan Tenggara bertemu ibu kandungnya, dan juga Ayah. Biar Tenggara mengadu pada mereka berdua, tentang kesakitannya selama ini.

Nero tak masalah. Bila harus ditinggalkan dalam kesepian, Nero tak masalah. Asal Tenggara bahagia. Asal kakaknya tidak kesakitan setiap saat.

Elang meraih tangan dingin Nero, kemudian menggenggamnya erat. "Lo masih punya gue, Nero. Mungkin sampai kapan pun, gue nggak akan bisa gantiin posisinya Tenggara. Tapi gue nggak akan pernah ninggalin lo sendirian."

"Lo juga masih punya gue. Jangan lupa, kalau gue bahkan rela nerobos bahaya demi lo." Marlon menyahut. "Dunia nggak berubah, Nero. Terkadang kita yang memang belum siap sama masa depan. Jangan takut, lo nggak akan pernah sendirian."

Darah lebih kental daripada air. Itu memang benar. Elang dan Marlon tahu, jika posisi mereka tetap tak ada bandingannya dengan Tenggara. Sekali pun Tenggara juga merupakan orang lain bagi Nero. Namun, Tenggara sudah hidup lebih lama bersama Nero, dibanding mereka berdua.

|✔| TenggaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang