12. Pelukan Paling Hangat

781 77 8
                                    

"Jangan merasa jadi orang paling tersakiti, Van

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jangan merasa jadi orang paling tersakiti, Van. Apa yang lo lakuin hari ini itu bahaya banget, bahkan lo berpotensi untuk menghilangkan nyawa orang lain. Nero itu dijaga mati-matian sama Tenggara. Dan lo, seenaknya ngelukain dia gitu aja. Kenapa? Lo depresi? Lo nggak terima sama kenyataan? Gini, ya, Van, hidup itu anggap aja pakai sistem tabur, tanam, tuai. Apa yang lo tabur, itu yang akan lo tuai. Kehancuran yang lo dapet hari ini, itu semua balasan dari kejahatan lo di masa lalu."

Marlon bersandar di dinding. Cukup jauh dengan Shivana yang dia ikat di atas kursi. Maafkan Marlon karena harus berbuat sekasar ini. Karena Marlon lelah, tidak tahu harus melakukan apa lagi. Shivana mengamuk dan sulit di kendalikan, satu-satunya cara adalah dengan mengikat wanita itu.

Masih menunduk dalam, Shivana tak membalas satu kata pun ucapan Marlon. Tetapi Shivana pasti mendengarnya dengan jelas. Di luar ruangan, Lian berdiri menunggu Marlon. Bahkan Lian tak beranjak sedikit pun dari posisinya. Lian takut, jika Marlon sampai lepas kontrol dan melakukan hal yang tak pernah dia pikirkan.

"Gara-gara hubungan terlarang antara nyokap lo dan Papa, Mama gue meninggal, Van. Seandainya waktu itu nyokap lo bisa sadar, kalau yang dia lakuin itu salah, mungkin semuanya nggak akan seperti ini. Yang dari nol nemenin Papa adalah Mama. Bahkan Mama rela ninggalin keluarga besarnya demi Papa yang saat itu nggak punya apa-apa. Mama rela jual semua perhiasan mahalnya buat modal usaha Papa. Semua Mama lakuin untuk Papa. Tapi, setelah Papa berhasil dapet semua itu, Papa justru membalas Mama dengan rasa sakit."

Diam sejenak, Marlon melanjutkan. "Gue tahu ini sepenuhnya bukan salah nyokap lo. So, kita di sini sama-sama korban, Van. Kita impas. Nyokap lo meninggal, Mama juga. Sekarang Papa depresi, dan bokap lo di penjara. Kita sama-sama nggak punya penopang lagi, Van. Tapi, sekalipun gue nggak pernah berpikir untuk menghancurkan kebahagiaan orang lain. Gue harap, lo juga nggak akan pernah punya pemikiran gitu lagi. Berubah, Van, berdamai sama semuanya."

Tangis Shivana yang pecah adalah satu-satunya jawaban yang Marlon dengar. Beberapa menit setelahnya, wanita itu justru berteriak histeris dengan memanggil nama ibunya. Marlon berdiri, meninggalkan Shivana yang masih kacau di sana.

Lian buru-buru mendekat kala melihat Marlon keluar. "Gimana?" tanyanya.

Marlon menggeleng lemah. "Tolong panggil pihak rumah sakit jiwa. Semoga kesehatan mentalnya Shivana masih bisa disembuhin."

Tanpa banyak bertanya, Lian melakukan apa yang Marlon katakan. Setelah menelepon, Lian duduk di samping Marlon yang terlihat lesu. Bukan Marlon sekali. Mungkin terakhir kali Lian melihat Marlon seperti ini, adalah saat mamanya meninggal delapan tahun lalu.

"Semua bakal baik-baik aja. Gue yakin." Saat ini Lian hanya bisa memberi kata-kata memotivasi untuk Marlon. Berharap agar Marlon mampu bangkit untuk sekali lagi.

"Yan, anterin gue ketemu Bang Tenggara dan Nero. Gue mau lihat keadaan Nero."

"Yakin?"

"Gue nggak pa-pa. Bukannya gue memang gini, ya? Tenang aja, gue bakal jadi Marlon yang biasanya. Sekarang lagi capek, butuh energi. Besok gue udah bisa salto dari Jakarta sampe Bandung."

|✔| TenggaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang