Sepasang sepatu heels hitam melangkah anggun menyusuri lobi rumah sakit. Suara hak tingginya beradu dengan lantai keramik, menciptakan gema pelan yang berbaur dengan hiruk-pikuk khas gedung kesehatan. Aroma obat-obatan dan lalu lalang pasien serta perawat menjadi pemandangan yang tak lagi asing bagi Mia.
Entah sudah berapa kali ia hilir mudik di rumah sakit ini. Yang jelas, sejak kelahiran Kala, Mia tak pernah absen mengunjunginya. Rutin, setiap sebulan sekali, Mia datang ke tempat ini, menjumpai seseorang yang sudah tak asing lagi baginya.
Lorong yang lumayan sepi dengan deretan pintu saling berhadapan menyambutnya. Di sinilah ruangan para dokter berada, termasuk ruangan yang ditujunya saat ini. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu bertuliskan:
Dr. Naina Anjani, SpOG.Ceklek.
Suara kenop pintu yang terbuka pelan membuat Naina, sang pemilik ruangan, menoleh. Mata Naina menyipit sejenak sebelum ia berujar dengan nada yang sudah sangat dikenali Mia.
“Ck, gue udah hafal banget siapa yang kelakuannya gini,” ucap Naina tanpa menoleh, jari-jarinya masih sibuk mengetik di atas keyboard laptop.
“Selamat siang, Dokter Naina. Maaf saya mengganggu,” jawab Mia dengan suara pura-pura sopan, seperti gaya perawat pada umumnya.
Naina mendelik, ekspresinya datar. “Nggak lucu.”
Mia terkekeh pelan, melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Hehehe, bosen nggak sih, tiap bulan harus lihat muka gue terus?”
Naina menggeleng pelan, bola matanya berputar malas. “Jangan salahin gue. Salahin laki lo sana.”
Mia hanya tersenyum tipis. Ia tahu persis maksud Naina. Semua ini bukan kemauan Naina, bukan pula sepenuhnya kemauannya. Tapi ada seseorang yang begitu protektif hingga ia harus rutin datang ke sini setiap bulan.
Naina berdiri, mengambil tensimeter dari meja kecil di pojok ruangan. “Sini, cek tensi dulu.”
Mia duduk dengan tenang, membiarkan Naina melilitkan alat itu di lengannya. Beberapa detik kemudian, Naina tersenyum tipis. “110/90. Bagus, normal kok.”
“Nggak usah berat badannya juga, kan?” Mia memasang wajah memelas.
Naina melipat tangan di dada, menaikkan alisnya. “Jangan banyak protes, Bu. Ayo, timbang!”
Dengan berat hati, Mia berdiri dan melangkah ke timbangan di sudut ruangan. Angka di layar digital membuat Naina terbelalak. “Gila, Mi! Lo kurus banget! Turun tiga kilo!”
Mia memandang tubuhnya sendiri, tak merasa ada yang berubah. “Perasaan badan gue gini-gini aja, deh.”
“Nggak usah diet, Mi. Badan lo udah kurus.” Naina menggeleng pelan sambil menyiapkan suntikan dengan cairan bening di dalamnya.
“Gue nggak diet, Naina...” Mia mendekati ranjang kecil di sudut ruangan dan berbaring tengkurap dengan pasrah.
“Berarti lo kurang makan,” gumam Naina sambil menempelkan kapas dingin di kulit Mia, lalu menyuntikkan obat dengan cekatan. Mia memejamkan mata, merasakan sensasi perih seperti digigit semut.
“Udah,” ucap Naina singkat sambil membuang jarum suntik ke tempat khusus.
Mia bangkit, merapikan pakaiannya sebelum kembali duduk di depan meja kerja Naina. “Kayaknya gue nggak pernah secapek ini, deh...”
Naina mengamati sahabatnya dengan pandangan tajam. “Lo yakin nggak ada keluhan lain?”
“Cuma sering pusing aja. Tapi nggak parah sih,” jawab Mia santai.
![](https://img.wattpad.com/cover/324008330-288-k661774.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Dirimu Tumbuh (Lee Haechan) -[Completed]
RandomMia seorang wanita yang berprofesi sebagai dokter selalu mendapat dukungan penuh dari sang suami atas apapun yang ia inginkan Ditengah gempuran keluarga yang selalu mengharapkan anak kedua juga kala sang putra yang ingin memiliki adik,namun berbeda...