pokoknya.

313 39 5
                                    

Mia masih berdiri di depan dinding kaca, menatap halaman luar yang terbalut gelap malam. Sayup-sayup suara jangkrik dan kodok bernyanyi, seolah mengiringi kesunyian yang dinginnya menusuk sampai ke tulang. Embusan angin malam menyentuh wajahnya dengan lembut, membawa serta aroma tanah basah yang lembap dan sunyi.

Mata Mia menelusuri bayangannya sendiri yang terpantul di kaca, terlihat begitu kecil di tengah kegelapan yang membentang. Perlahan, ia menoleh, menatap Haikal yang terlelap di atas ranjang. Napasnya teratur, mulutnya sedikit terbuka, menandakan ia tertidur pulas.

Wajah Haikal terlihat damai dalam tidurnya. Alisnya bertaut, hidungnya yang mancung, dan bibir tipisnya yang kemerahan—sebuah ciptaan yang nyaris sempurna. Andai saja Mia bisa menyusup masuk ke dalam mimpinya, menelusuri tiap sudut pikirannya yang mungkin kini tengah melayang entah ke mana.

Mia menghela napas pelan, mendekat dan duduk di sisi ranjang. Ia membenarkan selimut yang sedikit turun, menyelimutkan kehangatan untuk tubuh Haikal yang terasa dingin. Jemarinya terhenti di bahu Haikal, menyentuh dengan lembut, seolah takut membangunkan lelaki yang kini tertidur dalam kelelahan.

"Maaf... jika aku benar-benar membuatmu kesal," bisiknya lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara desau angin malam.

Bayangan siang tadi kembali terputar di kepala Mia. Semua berawal dari Naka yang mengantarkan Kala ke rumah sakit. Mia sedikit terkejut, bagaimana bisa Kala bersama Naka? Di mana Haikal?

“Naka, kok bisa kamu yang antar Kala? Haikal di mana?” tanya Mia dengan nada bingung.

“Haikal masih ada rapat. Katanya rapatnya mungkin lama, jadi aku yang gantiin jemput Kala,” jawab Naka ringan.
“Oh, begitu... Makasih banyak, Nak. Maaf udah ngerepotin.”
“Gak masalah, udah jadi kewajiban paman ganteng kayak gue.” Naka tersenyum, mencoba mencairkan suasana.

Sepeninggal Naka, Mia berusaha fokus bekerja sembari mengasuh Kala. Beruntung, bocah itu tidak rewel dan mudah diajak kompromi. Hingga akhirnya mereka pulang, dan rumah kembali terasa sepi seperti biasa.

Tapi malam itu, keheningan terasa berbeda. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, tapi Haikal belum juga pulang. Tidak ada kabar, teleponnya pun tak aktif. Mia mulai diliputi kegelisahan.

Awalnya, ia ingin menyusul ke kantor Haikal, tapi ia khawatir meninggalkan Kala sendirian di rumah. Terpaksa ia menghubungi teman-teman Haikal, berharap salah satu dari mereka tahu keberadaan suaminya.

Namun jawaban yang ia terima justru membuat dadanya semakin sesak.
Naka: Gak, gue lagi di rumah.
Jeno: Sorry, Mi, gue lagi di Bali.
Rendi: Gak tuh, Mi. Emang Haikal belum balik?
Belum... makanya gue nanya siapa tahu sama lo.
Rendi: Lo di rumah?
Iya.
Rendi: Lo diem aja di rumah. Gue cari dulu, semoga firasat gue gak meleset.

Mia menunggu dalam cemas, hingga akhirnya Rendi datang, menggotong tubuh Haikal yang mabuk berat. Aroma alkohol langsung menyengat, memukul hidung Mia begitu Rendi membuka pintu.

Langkah Haikal terhuyung-huyung, badannya berat tak tertahankan. Bahkan untuk berdiri saja ia harus bersandar pada Rendi.
"Astaga... sampai segininya," desis Mia, hatinya mencelos melihat suaminya yang tak berdaya.

Dengan susah payah, Rendi membaringkan tubuh Haikal di ranjang. Napasnya tersengal, wajahnya kesal.
“Hah... hah... Nyusahin banget, si spesies satu ini... Gak ngerti lagi gue,” gerutunya sambil memegangi pinggang yang pegal.
“Kalo dia muntah lagi, biarin aja di lantai, Mi. Biar kapok.”

Biarkan Dirimu Tumbuh (Lee Haechan) -[Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang