keputusan mutlak

389 46 7
                                    

Pagi yang baru menyapa rumah kecil itu dengan sinar lembut mentari. Aroma kopi yang hangat dan roti panggang bercampur dengan canda manis di antara penghuninya.

“Maa, bekal hari ini donat dan sosis panggang, kan?” suara lembut Kala terdengar, penuh harap.

Mia tersenyum tipis, menyimpan kehangatan seorang ibu. “Iya, tempo hari Kala bilang mau bekal itu. Mama udah siapkan semuanya, sayang.”

Kala mengangguk, matanya berbinar saat menerima kotak makan berisi favoritnya. “Terima kasih, Ma.” Dengan ringan, tangannya meraih tas kecil dan melangkah menuju halaman depan.

Haikal, yang duduk sambil menyeruput kopi hitamnya, diam-diam memperhatikan mereka. Ada kedamaian di matanya, melihat kehangatan itu.

“Buat Ayah enggak dibikinin juga, Ma?” godanya, nada suara penuh kelakar.

Mia menoleh, sedikit panik. “Loh, memangnya Ayah bilang mau bekal juga?”

“Enggak, hehe,” sahut Haikal sambil menampilkan deretan giginya yang rapi, senyumannya lebar menggoda.

Mia menghela napas lega, menepuk pelan dadanya. “Sampe panik gitu aku, Kal. Kupikir aku lupa.”

Haikal bangkit, tubuhnya menjulang tinggi di hadapan Mia. Tangannya dengan lembut melingkar di pinggang ramping istrinya.

“Enggak usah takut. Aku cuma bercanda,” bisiknya, sebelum mengecup lembut keningnya. “Aku berangkat sekarang.”

Kala, yang sudah menunggu di mobil, melambai kecil dari kejauhan. “Maa, aku pergi dulu ya. Bye, Mama!”

“Iya, hati-hati, sayang,” balas Mia, dengan senyum manis mengiringi lambaian tangannya.

Haikal menoleh ke arah istrinya sekali lagi sebelum membuka pintu mobilnya. Namun langkahnya terhenti saat Mia memanggilnya, “Kal.”

Ia menoleh, alisnya terangkat, menanti. “Iya, kenapa?”

Mia menggigit bibir bawahnya ragu. “Mm... anu, siang ini aku mau check-up ke dokter.”

“Mau aku temani?” tawarnya, suaranya berat namun lembut.

Mia menggeleng. “Nggak perlu, aku cuma kasih tahu.”

Haikal mengangguk kecil, menerima jawaban itu. “Baiklah, hati-hati ya,” ucapnya sebelum kembali melangkah ke mobil.

Mesin mobil mulai meraung pelan, perlahan melaju meninggalkan halaman rumah. Haikal membawa Kala ke sekolah sebelum melanjutkan ke kantornya.

📩 Rendi:
Kal, gue sama yang lain udah di lobi kantor lo.







"Ini semua demi kebaikan kamu"

"Yang jelas pemaksaan berkedok kebaikan,begitu maksudnya"

"Mia jaga ucapan kamu"

"Pah, Mia. Belum mau menikah apalagi dengan laki-laki yang sama sekali tidak Mia kenal"

"Itu urusan belakangan yang penting papa sudah kenal siapa dia"

"Oh ya, kalo begitu papa saja yang menikah dengan dia"

"Mia"

Mama yang sedari tadi menyaksikan perdebatan antara ayah dan anak itu kini melerai setelah tak tahan melihat dua-duanya tak maju ada yang mengalah

"Mama" Mia merengek usapan lembut di punggung tangan Mia sukses membuat Mia kicep tak bersuara

"Pokoknya papa tidak mau ada penolakan dan jangan coba-coba melakukan hal bodoh yang akan kami sesali nantinya"

Biarkan Dirimu Tumbuh (Lee Haechan) -[Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang