Dingin di tengah panas, hujan di tengah cerah, pahit di tengah manis, atau bahkan hambar di tengah kehangatan - perasaan itu bisa terjadi pada siapa saja. Seperti pagi ini, ketika sunyi mengisi celah di antara mereka yang biasanya dipenuhi tawa dan obrolan ringan.
Kala, anak kecil yang dulu selalu ceria dan mengandalkan Mia atau Haikal untuk membangunkannya, kini mulai belajar mandiri. Waktu terus berjalan, dan tanpa disadari, Kala tumbuh begitu cepat. Tak perlu lagi suara lembut Mia membangunkannya, tak perlu lagi sentuhan hangat Haikal yang mengusap rambutnya saat memintanya bersiap ke sekolah. Sekarang, Kala bangun sendiri, menyiapkan peralatan sekolahnya walau terkadang seragamnya terlihat kurang rapi, membuat Mia tak bisa menahan diri untuk merapikannya.
"Nah, sekarang sudah rapi." Mia tersenyum lembut, merapikan kerah baju Kala yang sedikit miring. "Sarapan dulu ya sebelum berangkat. Mama sudah buatkan nasi goreng sosis kesukaan Kala."
Mata Kala berbinar, senyuman manisnya menghangatkan hati Mia. "Oke, Ma!"
Kala berlari kecil menuju meja makan, meninggalkan Mia yang tersenyum lembut di ambang pintu kamar. Di tangan Mia, tas gendong bermotif kepala singa milik Kala bergoyang mengikuti langkah kakinya.
Namun, suasana sarapan pagi ini berbeda. Hambar dan hening, tidak seperti biasanya. Tidak ada tawa, tidak ada obrolan ringan. Hanya bunyi dentingan sendok yang beradu dengan piring.
Haikal duduk di kursi meja makan, menatap kosong pada cangkir teh hangat di depannya. Asap tipis mengepul, seolah membawa kehangatan yang tak lagi dirasakannya. Sejak pagi itu, sejak malam penuh kehangatan yang berubah menjadi kegelisahan, Haikal berubah.
Sudah seminggu sejak Mia mengutarakan keinginannya untuk tidak memasang KB lagi bulan depan. Sejak saat itu, Haikal menjadi pendiam, dingin, dan menjauh. Setiap pulang kerja, ia langsung membersihkan diri dan berganti pakaian di kamar utama, lalu menghabiskan malam panjang di ruang kerja hingga larut malam. Seakan ada jarak tak kasat mata yang perlahan tercipta di antara mereka.
Bukan tak ada niat Mia untuk bertanya. Hanya saja, ia takut salah bicara. Takut sikap Haikal menjadi lebih dingin daripada cuaca Jilin yang menusuk tulang.
"Mama hari ini ada pertemuan dengan dokter baru di rumah sakit. Mungkin Mama gak bisa jemput Kala siang ini. Sama Ayah dulu gak apa-apa, kan?" Mia berkata lembut, menatap Kala yang tengah lahap menyantap sarapannya.
Kala mengangguk tanpa suara, mulutnya penuh nasi goreng sosis kesukaannya.
Mia menoleh pada Haikal, menatap pria yang dulu selalu menatapnya hangat namun kini terasa asing. "Gimana, Yah? Bisa jemput Kala hari ini?"
Haikal tak bergeming, tatapannya kosong pada cangkir tehnya yang mulai mendingin.
Mia menyentuh punggung tangan Haikal, lembut namun penuh arti. Sentuhan yang biasa menyulut senyum di wajah pria itu, namun kini tak lagi sama. "Ayah...?"
Haikal tersentak, seakan baru kembali dari dunia yang jauh. "Oh... Kenapa?"
Kala menghentikan suapannya, menatap ayahnya dengan pandangan khawatir. "Ayah lagi gak enak badan, ya?"
Haikal tersenyum tipis, senyum yang terasa dipaksakan. "Enggak, Ayah sehat kok."
"Soalnya Ayah keliatan kurang fokus tadi. Aku pikir Ayah sakit."
Haikal mengusap ubun-ubun Kala dengan lembut, mencoba mengalihkan kekhawatiran yang terpancar dari mata anak itu. "Enggak, Sayang. Ayah sehat. Jangan khawatir, ya."
Mia menghela napas pelan, menyembunyikan rasa khawatir yang mulai merayapi hatinya. "Jadi gimana? Bisa jemput Kala hari ini?"
Haikal menatap Mia sekilas, kemudian mengangguk pelan. "Bisa."
![](https://img.wattpad.com/cover/324008330-288-k661774.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Dirimu Tumbuh (Lee Haechan) -[Completed]
De TodoMia seorang wanita yang berprofesi sebagai dokter selalu mendapat dukungan penuh dari sang suami atas apapun yang ia inginkan Ditengah gempuran keluarga yang selalu mengharapkan anak kedua juga kala sang putra yang ingin memiliki adik,namun berbeda...