Pagi-pagi sekali Yujin sudah terduduk di teras rumah neneknya sambil sesekali terkantuk-kantuk. Cuaca hari ini cukup cerah, tetapi suhu udaranya terasa dingin. Yujin mengeratkan jaket abu yang ia pakai sebagai luaran kemeja berwarna kuning pastel yang dimasukkan rapi ke dalam celana panjang berwarna beige dan memeluk kedua kakinya. Ia sedang menunggu sang nenek mencari formulir yang sudah diberikan satu minggu sebelum acara bakti sosial hari ini. Yujin tersentak pelan saat mendengar suara pintu yang tertutup. Ia berdiri dan meregangkan pelan tubuhnya yang terasa sedikit kaku.
"Masih mengantuk?" tanya Nenek Ahn seraya mengelus pelan kepala Yujin.
"Sedikit." jawab Yujin pelan. Nenek Ahn tersenyum dan menggeleng pelan, cucunya yang satu ini benar-benar menjadi lebih manja ketika bersamanya.
Perjalanan menuju balai masyarakat dipenuhi dengan berbagai macam cerita oleh Nenek Ahn. Yujin tersadar, ia benar-benar tidak tahu apapun yang terjadi selama sebelas tahun tidak menginjakkan kaki di pinggiran kota Daejeon. Otaknya menerima begitu banyak informasi baru pagi itu. Ayunan yang dahulu tergantung di pohon kesemek dekat rumah neneknya dilepas karena ada anak kecil yang tangannya patah akibat terjatuh saat bermain di sana. Yujin berpikir, bagaimana bisa seseorang mengalami patah tulang hanya karena terjatuh dari ayunan setinggi setengah meter dari permukaan tanah? Yujin meringis pelan, siapapun anak itu, ia merasa kasihan padanya.
Sesekali Yujin dan neneknya bertukar sapa dengan orang-orang yang juga hendak menuju ke balai masyarakat. Yujin sedikit tersipu saat orang-orang melontarkan pujian untuknya seperti "Wah, kau tumbuh dengan baik!" atau "Cucumu benar-benar cantik!". Beberapa orang bahkan menawarkan untuk menjodohkan Yujin dengan cucu atau anaknya. Yujin hanya tersenyum sopan mendengarnya, ia yakin itu hanyalah sekadar basa-basi untuk mengawali hari. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang tidak terduga pagi itu.
"Sapalah, Yuding. Ini ibu Youngie." ucap Nenek Ahn memperkenalkan sosok wanita paruh baya di depannya. Yujin memperhatikan sosok wanita yang disebut ibu oleh Jang Wonyoung. Tidak seperti Wonyoung, ibunya justru memancarkan aura yang hangat dan ramah. Ia bisa melihat dari mana Wonyoung mendapatkan kedua mata cokelat yang terlihat bulat dan bersinar itu. Garis kerutan samar yang menghiasi wajah wanita itu saat tersenyum tidak menutupi kecantikan alamiahnya.
"Annyeonghaseyo." sapa Yujin seraya membungkukkan badannya sedikit.
"Senang bertemu denganmu, Yujin." balas ibu Wonyoung tersenyum. "Nenekmu menceritakan banyak hal tentangmu, ternyata kau lebih cantik ketika dilihat secara langsung."
"Benar, kan? Cucuku ini mewarisi kecantikan bagai dewi Yunani dari neneknya." sahut Nenek Ahn bercanda.
Kedua wanita itu tertawa. Untuk sesaat Yujin tertegun, alunan tawa wanita yang baru ia kenal itu yang terdengar begitu mirip dengan seseorang yang membuat perut Yujin terasa seperti terlilit ketika melakukan hal yang sama. Hanya saja, wanita ini terdengar lebih anggun, lembut, dan hangat.