Hari ini bisa dikatakan salah satu hari yang besar untuk Wonyoung. Selama ini, ia hanya mendengar nenek tetangga sebelah rumahnya– yang biasa ia panggil dengan sebutan "Halmae"– menceritakan perihal kedua cucu kesayangannya yang sudah lama tidak berkunjung ke kampung halamannya. Ia hanya bisa membayangkan bagaimana sosok mereka di pikirannya dari penggalan cerita yang disampaikan oleh Halmae.
Naoi Rei, anak dari putri kedua keluarga Ahn yang memiliki darah campuran Jepang-Korea itu terdengar seperti seseorang yang imut dan menggemaskan. Berdasarkan cerita yang ia dengar, Rei kira-kira berusia sebaya dengan dirinya. Gadis itu kini memilih untuk menjalani pendidikan akhir di Korea untuk menemani sepupunya. Ia juga tahu dari Halmae bahwa Rei sangat fasih berbahasa Korea dan memiliki hobi yang sama dengannya, yaitu merangkai bunga. Sepertinya, Rei dan dirinya akan menjadi teman yang cocok.
"Youngie, bisakah kau mencuci dan potong sayuran di atas meja?" tanya Nenek Ahn yang sejak tadi bolak-balik dari satu panci ke panci lainnya. Wanita berusia tujuh puluh tahun itu terlihat bersemangat memasak untuk cucunya yang akan datang mengunjunginya.
"Baik, Halmae." ujar Wonyoung yang baru saja selesai mengiris dan mencincang satu mangkuk bawang merah dan bawang putih. Setelah memisahkan bawang-bawang itu ke dalam mangkuk yang berbeda, ia beralih mencuci sayur-sayuran segar yang baru saja dipanen tadi pagi.
Nenek Ahn berjalan tergopoh-gopoh menghampiri ponselnya yang berdering di atas meja. Wonyoung tersenyum tipis saat mendengar sosok yang ia hormati tersebut berbicara dengan penuh semangat di depan sana. Sepertinya, cucu yang telah ditunggu sudah dalam perjalanan. Wonyoung merasa sedikit gugup, ia berharap dapat memberikan kesan yang baik kepada mereka.
"Anda terlihat sangat bersemangat, Halmae." ucap Wonyoung seraya menyelesaikan potongan wortel terakhirnya. "Ini sayurannya sudah selesai."
"Terima kasih, Youngie." ujar Nenek Ahn yang kembali mengecek masakannya di atas kompor. "Dia sedang dalam perjalanan, kita harus menyelesaikan ini secepat mungkin."
"Siapa?" tanya Wonyoung penasaran. Ia sudah tahu tujuan kedatangan cucu keluarga Ahn untuk menemani nenek mereka sebelum dijemput untuk menjalani pengobatan di Seoul. Tetapi, ia tidak tahu apakah kedua cucunya datang atau hanya salah satu dari mereka.
"Yujin." Nenek Ahn memindahkan sup ayam yang sudah matang ke dalam mangkuk. Dengan hati-hati, ia meletakkan mangkuk yang masih mengepulkan uap panas itu ke atas meja yang sudah ditata rapi. "Rei tidak ikut karena ia sudah pulang ke Jepang."
Ahn Yujin, cucu tertua dari putra sulung keluarga Ahn. Ahn Yujin yang pernah menjadi ketua kelas saat SD dan pernah mendapat penghargaan sebagai pemain terbaik dalam lomba lompat tali. Ahn Yujin yang mencetak rekor harga lelang tertinggi dalam pameran lukisan untuk siswa sekolah menengah atas di Kota Seoul. Ahn Yujin yang memiliki senyuman sehangat mentari di musim panas dengan dua lesung pipi yang begitu menyegarkan. Ahn Yujin yang kehadirannya memberikan energi positif kepada orang-orang di sekitarnya. Ia pernah sekali melihat Yujin dan Rei dalam foto keluarga yang ditunjukkan oleh Nenek Ahn kepadanya. Namun, foto itu sudah diambil cukup lama dan kedua gadis kecil itu pasti sudah tumbuh besar sekarang.