"Kenapa selalu Jena yang lo pilih?" Lirih Kei pelan. Setelah Cakra selesai merapikan kamar Kei, dan juga memastikan perasaan Kei lebih tenang, ia kemudian mengajak gadis itu untuk berbicara baik baik.
"Gue nggak milih Jena, Kei. Kenapa lo jadi kayak gini, hum? Tangan lo lecet." Balas Cakra tak kalah lirih, sembari memegang kedua pergelangan tangan Kei.
"Gue gini karena kalian. Lagipula apa yang diomongin Jena bener kan? Gue nggak pantes buat siapapun, gue nggak berguna, gue nggak--
"Kapan dia ngomong gitu sama lo?" Potong Cakra cepat, nada bicaranya terkesan menajam.
"Tadi siang, pas lo berdua lunch bareng di cafe. Dia nyegat gue di kamar mandi. Dia ngelontarin kalimat yang bikin gue jadi bener bener sadar diri."
"Gue yang awalnya udah bener bener rapuh, dan di semprot sama kalimat kalimat kayak gitu, pastinya nggak bisa berpikir jernih, Cakra. Dia ngasi solusi supaya gue bunuh diri aja, gue turutin, gue rasa dia bener." Lirih Kei.
"Bangsat." Umpat Cakra pelan.
Ia perlahan menautkan jari jemarinya pada jari jemari milik Kei.
"Tadi siang gue ngajak dia ketemu, karena gue udah punya pilihan." Tekan Cakra.
Kei mengalihkan pandangannya, "Bener kan lo milih--
"Dengerin gue dulu. Gue tadi siang nemuin Jena karena gue mau meringatin dia Kei, pilihan gue itu lo. Gue cuma gamau disaat gue milih lo, lo bakal kenapa kenapa cuma karena tingkah nekatnya dia."
Kei perlahan menatap Cakra dengan tatapan yang sangat sulit Cakra artikan, "Lo tau gue bisa handle semuanya sendiri."
"Apa harus gue percaya sama lo disaat lo semakin hari udah kelihatan semakin rapuh?"
Kei terdiam.
Dan itu membuat Cakra menggeleng, "Jangan maksain diri lo untuk selalu terlihat kuat, Kei. Lo nggak sekuat itu, nyatanya batin dan mental lo udah kesiksa, dan sialnya---
Cakra merasa nafasnya tercekat sesaat.
Ia memejamkan matanya, sebelum akhirnya kembali melanjutkan kalimatnya,
"Dan sialnya faktor utama yang ngebuat mental dan batin lo kesika adalah gue, Kei. Gue-- gue minta maaf, banget."
"Lo kayak gini bukan karena lo kasian ngelihat keadaan gue yang kayak gini kann?" Selidik Kei, ia mencoba untuk menelisik jauh ke dalam mata Cakra, namun yang ia dapat hanyalah sebuah sorot ke-putus-asa-an yang jelas terpancar dari sepasang mata yang sayu tersebut.
"Udah sejauh apa gue nyakitin lo, Kei?"
Kei menahan nafasnya, "Udah sejauh sampe lo berhasil bikin gue muak sama dunia ini, dan milih untuk mati."
Cakra menundukkan kepalanya, "Tolong jangan kayak tadi lagi."
Kei mengernyit, "Ken--
"Tolong jangan buat gue takut kayak tadi lagi, Kei. Tolong jangan nekat kayak tadi."
Cakra perlahan mendongakkan kepalanya, "Gue nggak mau kehilangan lo. Gue nggak mau kehilangan orang yang selama ini selalu ngebuat gue ngerasa lengkap. Gue nggak mau kehilangan seseorang yang belum pernah gue bikin bahagia."
"Kenapa lo pilih gue?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Kei.
Cakra tampak terdiam sejenak.
"Kenapa lo pilih gue?" Ulang Kei, nadanya agak menekan.
"Karena cuma lo satu satunya orang yang ngebuat gue ngerasa cukup, Kei. Cuma sama lo gue bisa ketawa lepas, cuma sama lo gue bisa bebas jadi diri gue sendiri.Gue baru sadar, betapa pentingnya hadir lo untuk gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC
AçãoFollow sebelum membaca! "Hanya cerita tentang 4 gadis kuat, yang selama ini selalu terbelenggu di dalam sebuah hubungan yang didominasi oleh sebuah rasa sakit, dan hebatnya mereka sangat sulit untuk keluar dalam belenggu tersebut. Hanya karena satu...