Part 02

5.5K 436 7
                                        

Keesokan paginya, karena rengekan Caisy dengan terpaksa Delisa mengetuk pintu kamar Damian. Anak itu terus rewel sejak bangun pagi minta bertemu dengan Damian sedang pria itu tak juga keluar dari kamarnya. Mungkin kebersamaan mereka kemarin membuat Caisy kini menjadi dekat dengan Damian mengingat selama Delisa mengasuh anak itu tidak pernah sekalipun Caisy rewel karena merindukan papanya itu.

"Pak, apa Anda sudah bangun?" Delisa mencetuskan pertanyaan usai mengetuk pintu.

Saat tak juga mendengar adanya jawaban, Delisa memutuskan untuk mengetuknya sekali lagi. Sementara di gendongannya Caisy tidak berhenti merengek.

"Sabar ya Sayang, Papamu sepertinya masih tidur," ucap Delisa. "Kita main di taman aja yuk?" ajaknya, berharap rayuan akan dapat mengalihkan kemauan anak itu.

"Nggak mau, Ici mau Papa."

Jawaban anak itu yang disertai dengan rengekan membuat Delisa nyaris frustasi. Pasalnya ia tidak mungkin menerobos masuk ke kamar Damian untuk membangunkan pria itu, karena hal itu berpotensi memancing amarah Damian kembali. Tapi mungkin jika alasannya karena Caisy, Delisa yakin Damian akan mengerti.

Usai mengetuk pintu sekali lagi, Delisa nekad memasuki kamar itu. Dan sesuai dugaannya, Damian memang benar masih terbaring diatas ranjangnya. Delisa berhenti ditengah ruangan, lalu menurunkan Caisy dari gendongannya. Ia membiarkan anak itu membangunkan Damian. Lagipula sekarang sudah pukul sembilan pagi, tidak ada salahnya membangunkan pria itu.

"Udah ciang Pa, ayo bangun!" pinta Caisy seraya naik ke ranjang dan menyibak selimut yang menutupi tubuh Damian.

Tatapan Delisa menyapu ruangan, ini adalah kamar Damian dengan Alisya sepanjang pernikahan mereka. Rasanya masih sulit percaya jika kini Alisya telah tiada. Selama ini ia tidak pernah tahu perihal penyakit yang adiknya itu derita. Mungkin karena mereka memang sengaja menyembunyikan hal itu darinya. Tidak aneh sebenarnya mengingat sejak dulu keberadaannya selalu dianggap ada dan tiada di dalam keluarga. Tapi kini keberadaannya justru di butuhkan oleh orang-orang yang dulu selalu mengabaikannya. Andai ia bisa membalas perlakuan mereka, sayangnya Delisa tidak sampai hati melakukannya.

Damian membuka matanya saat pipinya ditepuk-tepuk oleh Caisy. "Anak Papa udah bangun," gumamnya dengan suara parau.

"Ini udah ciang Pa, tuh liat di luar udah terang!" tunjuk Caisy kearah jendela yang baru saja di buka gordennya oleh Delisa.

Kelopak mata Damian reflek menyipit saat sinar matahari yang menyorot masuk menyilaukan pandangannya. "Iya maaf, Papa kesiangan bangunnya," balasnya seraya menyeret tubuhnya untuk bersandar pada kepala ranjang sebelum mengangkat Caisy dan mendudukannya di pangkuan.

"Papa kok badannya panac?" tanya Caisy dengan tatapannya yang polos.

Damian menyentuh keningnya lalu mendapati apa yang Caisy ucapkan benar. pantas saja sejak tadi ia merasa kepalanya pusing. Mungkin karena efek begadang sepanjang malam di tambah perutnya kosong. Ia memang sudah berhari-hari tidak berselera makan. Bisa jadi kedua hal itu yang menjadi pemicu dirinya demam.

"Anda sakit?" timbrung Delisa yang tahu-tahu sudah ada di dekat ranjang. "Wajah Anda juga terlihat pucat, apa Anda baik-baik saja."

Untuk sesaat Damian seperti blank, ia nampaknya belum terbiasa pada keberadaan Delisa di rumah itu. "Aku hanya sedikit tidak enak badan," jawabnya seraya memalingkan wajahnya dari Delisa.

Melihat wanita itu di sini mengingatkannya pada kematian Alisya. Tentu saja, karena jika ada Alisya dirumah ini mana mungkin Delisa ada disini-menggantikan posisinya.

"Tapi wajah Anda terlihat pucat, apa perlu aku memanggilkan dokter untuk memeriksa keadaan Anda?" tawar Delisa dengan nada ragu. Meski ia tahu Damian akan menolak tapi tidak ada salahnya untuk bertanya.

Delisa (Naik Ranjang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang