Teredam

1K 148 8
                                    

Merenung dan memandang langit malam tengah Guntur lakukan. Jika dihitung, ini sudah hari kesepuluh Pelita izin dari pekerjaan. Selama tak bertemu, Guntur kembali mencoba memikirkan segala ucapan wanita itu. Jujur, sulit ia mempercayai status Awan sampai kini.

Guntur kembali memejamkan mata merasa embusan angin malam yang menerpa. Ingatannya melanglang buana pada masalah lain. Satu malam fatal yang sampai kini belum terpecahkan penyebabnya. Ia hanya ingat bangun di kamar pembantu temannya dengan keadaan setengah telanjang.

Otak Guntur masih statis kala melihat pemandangan demikian. Pelita yang keluar dari kamar mandi dengan mata sembab sudah menjadi gambaran segala kejadian. Ada kesalahan besar yang mereka lakukan.

Argh? Mereka? Bahkan sampai kini Guntur terlampau lupa bagaimana awal kejadian itu. Beberapa kenangan yang ia gali kuat-kuat memang muncul tetapi tak lengkap. Hanya beberapa potong gambaran kala ia memaksa Pelita. Dan adegan tersebut seakan mematahkan persepsi kejadian menurut versinya; Pelita yang menjebak Guntur hingga tidur bersama.

“Mas?” Ingatan Guntur terpotong seiring dengan Lintang yang ikut duduk di kursi sampingnya.

“Mas Guntur lagi banyak kerjaan?” tanya Lintang dengan tatapan menenangkan.

Terpana pada Lintang, Guntur kesekian kali menyayangkan. Kenapa bisa masa lalu tak bisa dihapus begitu saja? Seperti coretan pensil ataupun pulpen yang bisa dihilangkan misalnya. Sayang, masa lalu seperti spidol permanen yang menempel erat. Ditambah skenario kehidupan lanjutan yang membuatnya makin pelik. Guntur kembali merasa gelisah untuk menerima pernyataan Pelita atau melakukan tes DNA secara diam-diam seperti rencana awal dalam kepala. Salahkah? Bagaimana?

“Malah lanjut bengong lagi.” Lintang mencubit pinggang Guntur gemas.

Meringis kesakitan, Guntur tersenyum lembut. Tangannya mengelus pipi Lintang yang sedikit berisi. Wanita itu memang semakin cantik seiring bertambahnya hari.

“Enggak ada kesibukan paling sibuk, selain mikirin kamu, Lin.” Guntur berkata pelan dengan makna penuh kemanisan juga kebohongan.

Lintang yang mendengar jawaban sang suami memberi balasan cubitan. Namun, tetap saja, dalam hatinya bergolak dengan rasa yang melayang. Wanita memang begitu. Sulit dipahami dengan berbagai teka-teki.

“Argh! Kok dicubit lagi? Tapi ... pipimu merah, Lin. Kamu baper, 'kan?” Sejenak pikiran awut-awutan Guntur teralihkan.

Lintang yang ada di hadapan Guntur membuang pandang. Selanjutnya, tawa keduanya mengalun di keheningan malam.

Tidur awal memanglah menyenangkan. Sayang, Guntur terbangun pukul sebelas malam dan kembali terbayang wajah Awan. Sementara Lintang, wanita itu terbangun karena kehilangan kehangatan. Meraba samping kasur yang kosong, ia langsung mencari-cari keberadaan Guntur. Memperhatikan sang suami dari jarak jauh, Lintang mulai menerka jika ada yang tak beres di sini.

“Aku beneran, Mas. Kamu kewalahan ngurus perusahaan? Kalau iya, biar aku bilangin Papa buat meringankan menantunya. Kasihan, masih muda wajahnya banyak kerutan.” Lintang sedikit mengejek dan menggoda.

Guntur menaikkan alis lalu mengecup gemas dahi Lintang. Tangan besar lelaki itu merangkul pundak istrinya. Sejenak, ia menyenderkan kepala di pundak Lintang. Kenyamanan merambat meredam kegundahan.

”Kamu bilang aku tua?” Guntur bertanya serupa gumaman sembari menyurukkan wajah ke leher sang istri.

Lintang yang merasa merinding juga agak geli pun tertawa. “Nah, tanpa aku bilang Mas Guntur ngerti, 'kan?”

Beberapa menit kemudian, Guntur menarik kepala Lintang. Menjepit kepala sang istri di ketiak, lelaki itu mendapat serangan balasan dengan gelitikan. Tertawa dan bercanda kembali dilakukan mereka selanjutnya. Lalu, Guntur mulai berpikir untuk melepaskan Awan usai melihat senyum paling indah dari Lintang.

Pelik (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang