Rembulan yang Menentang Malam

1.3K 176 20
                                    

Jadwal Genta tengah padat. Lelaki itu bahkan menatap tak minat ajakan reuni dari Guntur seminggu lalu melalui chat. Banyak alasan pendukung. Menghadiri acara keluarga, seminar di beberapa kota, selain itu pindah tugas di rumah sakit daerah Jakarta.

Lelah di rasakan pagi itu. Kebetulan Genta memiliki jadwal praktik malam. Alhasil, pukul sembilan pagi, ia memutuskan pulang. Ke kontrakan. Catat! Lelaki itu belum memikirkan kepindahannya karena terlalu dikejar berbagai acara. Ah, otaknya berasap.

Baru sehari dipindah lalu keesokannya praktik, Genta mendapat pemandangan membingungkan. Punggung ringkih yang sempat ia lihat di mushola terlihat seperti Pelitanya. Berusaha menyangkal dan hidup normal, ia mengabaikan. Rasa penasaran tertutupi oleh banyaknya pekerjaan.

Pagi ini, dunia seakan terhenti hanya untuk keduanya. Genta bisa melihat dengan jelas wanita yang menyita pemikirannya dalam waktu lama. Genta dapat menangkap potret wajah yang dirindukan menjelma di alam nyata. Ah, seketika segalanya lenyap. Lelah, gusar, juga amarah senyap. Pintu hati lelaki itu diisi segala sorakan terima kasih akan takdir Tuhan.

Sedikit dari bagian Genta terganggu oleh lelaki kecil yang mewarisi kulit Pelita. Dari rupa bocah itu, wajah tak asing ikut terbayang. Seperti melempar dadu pada permainan ular tangga, Genta memberanikan diri mengajak Pelita berbicara.

Sikap lapang sudah ia siapkan sejak menatap potret juga panggilan hubungan ibu dan anak. Setidaknya, Genta hanya ingin meyakinkan diri bahwa Pelita baik-baik saja. Selain itu, jika wanita favorit menurut versinya telah bahagia melayari lautan cinta yang berbeda, Genta ikhlas melepaskannya.

“Putra saya ingin segera pulang, Mas.” Pelita menginterupsi dengan gestur gusar.

“Kamu enggak mau meluangkan waktu sebentar?” Masih dengan raut sabar Genta berujar di antara hati yang bergelegar.

Keduanya masih statis di pinggir jalan. Pelita membuang pandang. Genta tetap dengan tatapan tajam.

“Awan habis kecelakaan gegar otak, Mas. Dia ingin cepat pulang ke kontrakan. Butug istirahat. Bosan di rumah sakit.” Pelita beralasan.

“Halo, Boy? Mau main time zone? Dekat sini ada mall. Jaraknya tiga bangunan aja.” Tanpa diduga dan entah magnet dari mana, Genta menyapa Awan.

“Om siapanya Mama?” tanya Awan membuat senyum Genta terkembang sedikit.

“Om temen lamanya mamamu. Mau bermain?”

“Boleh ya, Ma? Awan pengin banget main ke Time Zone.” Tanpa dinyana, Awan langsung bertanya.

Melihat rasa ingin yang begitu besar, Pelita mengangguk ragu. “Jangan terlalu kecapean, Nak. Kamu masih harus banyak istirahat.” Pelita berkata pelan.

Selama sepuluh tahun, Pelita tahu Awan menginginkan sosok papa. Akan tetapi, entah kenapa lelaki keras kepala yang selalu membuat Pelita mengalah bisa memposisikan diri sekejap mata. Bermula saat perdebatan membawa tas besar. Genta yang telah mengalami perubahan fisik menjadi lebih tinggi juga kekar pun menawarkan bantuan. Ah tidak lagi menawarkan. Lelaki itu memaksa sampai meminta persetujuan putra Pelita.

“Awan, Om bawain tasnya boleh? Mama kamu kelihatan capek?” Genta meminta pendapat dengan senyum berwibawa.

Tanpa pelet, Awan mengangguk antusias. “Iya, Om. Gapapa. Awan mau bantuin Mama tapi dilarang karena sakit. Ma, biar tasnya dibawa Om aja. Kan Mama capek habis jagain Awan.”

Memaki pun rasanya percuma. Persekongkolan antara lelaki beda usia dengan kesamaan tersebut berjalan lancar. Pelita tak bisa berkutik. Berakhir, mereka berangkat dengan ocehan Awan juga Genta yang tiba-tiba akrab.

Selanjutnya, Pelita menunggu di restoran depan Time Zone dengan tenang. Pandangannya menerawang jauh ke arah Genta juga Awan yang memainkan permainan. Saling bekerja sama, mereka seperti memiliki hubungan erat layaknya anak dan papa.

Pelik (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang