Bertemu Teman Lama

1K 155 8
                                    

Kandungan Lintang menginjak umur dua bulan. Kabar itu dibeberkan kala Guntur sudah bisa menguasai keadaan. Alhasil, rencana kejujuran masa lalu tertunda dengan hati penuh kebimbangan.

Munafik jika Guntur tidak merasakan senang. Nyata, debaran jantungnya menggelora. Sayang, rasa lain ikut andil dalam dadanya. Awan juga Pelita membayangi dengan rasa bersalah juga dosa. Ya Tuhan ....

Guntur memutar otak guna mengubah rencana. Maka, makan malam romantis tersebut berakhir tanpa dramatis juga tangis. Lintang memamerkan senyum ketulusan dan Guntur senang bukan kepayang di ambang banyak penyesalan.

Empat hari selepasnya, sepasang suami istri tersebut pergi ke rumah sakit guna mengecek kondisi kandungan. Selama perjalanan, Guntur melontarkan banyak tanya. Tentu ada rasa kasihan kala mengetahui bahwa kehamilan bisa berdampak besar pada tubuh Lintang.

Mual dan muntah dirasakan wanita itu pagi tadi. Jika biasanya hanya pening tak terkira, Lintang merasakan perutnya seperti diaduk-aduk menggunakan mixer. Alhasil, sarapan favorit nasi goreng sosis harus berakhir di wastafel.

“Beneran gapapa? Gak ada obat buat pencegah mual-mual itu, Yang?” Guntur kembali memastikan.

“Cerewet banget sih kamu, Mas.” Lintang berkata dengan nada jenaka.

Guntur terpekur lantas ikut terkekeh. Keduanya larut dalam tawa kemudian melanjutkan perjalanan sejalan dengan lampu hijau yang menyala.

“Aku cerewet karena ini pertama kalinya, Lin.” Guntur berkata pelan.

Pikiran tak senonoh tiba-tiba mampir. Ingatan Guntur seakan dipaksa kembali menoleh ke belakang. Histori wajah Awan juga Pelita membayang.

Apa Pelita mengalami hal yang sama? Bagaimana cara wanita itu bertahan hidup jika ia hanya sebatang kara? Apa ia pernah kelaparan saat mengandung Awan? Apa ngidamnya juga mengalami mual seperti Lintang?

“Setiap wanita memiliki gejala berbeda saat kehamilannya, Mas.” Lintang berkata dengan tenang.

Guntur yang tadinya agak linglung pun mengangguk. Fokusnya kembali pada tangan Lintang yang ada di genggaman.

“Tapi ini normal selama gak berlebihan. Ada pula yang ngidamnya parah sampai kekurangan cairan bahkan muntah saat minum air putih. Aku baca artikel jadi tahu,” papar Lintang sembari menyenderkan kepala di pundak Guntur.

Mengawang, Guntur kembali bertanya tentang Pelita. Bagaimana keadaan Awan sekarang? Apa yang diinginkan wanita itu? Apa yang harus Guntur lakukan jika rasanya ia juga menginginkan Awan? Sungguh pelik!

“Ini adalah pengorbanan seorang ibu untuk anaknya, Mas. Aku bahkan mulai berpikir demikian. Jadi ... wajar kalau dulu Pelita marah-marah saat Awan kecelakaan. Aku bahkan kemarin panik saat posisi tidur yang tanpa sengaja ingin tengkurap. Ah, untung si baby enggak papa,” ujar Lintang sembari mengelus perutnya.

Sebuah kecupan mendarat di pipi Guntur selepasnya. Pandangan suami istri itu beradu lama.

“Ngomong-ngomong, aku senang atas kecerewetan, perhatian, dan senyummu itu, Mas. Kamu melakukan segalanya lebih dari proporsi biasa. Aku suka. Kamu memang suami dan calon ayah yang siaga. Love you.” Kembali, Lintang mengecup pipi sang suami.

Guntur terdiam. Ia hanya mampu tersenyum sembari meremas tangan Lintang lembut.

Suami dan calon ayah siaga? Kemelut kembali datang karena julukan menggemaskan dari Lintang. Memang harusnya Guntur merasa senang. Sayangnya tidak. Gundah kembali dirasa dengan terkaan masa depan jika terungkapnya sejarah antara Awan dan Pelita.

Perjalanan mereka terhenti di rumah sakit sama tempat Awan dirawat dulu. Sengaja, Guntur tidak menyetir mobil sendirian karena takut tak bisa fokus dengan pikiran berantakan.

Pelik (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang