Keadaan Awan telah membaik. Bocah itu memang betah untuk merasakan sakit. Pelita tak tega melihat perban-perban yang menghiasi kepalanya, tetapi Awan menenangkan sang mama dengan senyum sabarnya.
“Awan baik-baik saja, Ma.”
Kalimat itu harusnya hanya dusta. Pelita tahu. Jatuh dari pohon saat ia kecil rasanya menyakitkan. Apalagi sang putra yang tertabrak lalu terpental di jalan beraspal. Tidak! Pelita tak ingin membayangkan.
Selain itu, Pelita tak suka melihat alat-alat medis memenuhi tubuh sang putra. Meski seiring bertambahnya hari, alat tersebut berkurang jumlahnya. Tetap saja, Pelita merasa pemandangan Awan dengan luka besarnya adalah kesakitan tiada tara.
“Awan ... jangan buat mama khawatir lagi ya, Nak.” Pelita berkata sembari menatap mata bening di hadapan dengan penuh kasih sayang.
“Maaf, Ma. Tapi ... aku cuman mau nolongin Alden. Kata Mama, aku harus jadi anak baik.” Kalimat itu keluar sembari Awan membuang pandang.
Pelita mengembuskan napas pelan. Mencoba berpikir kesekian kali. Hingga sebuah kesimpulan ia dapati. Awan terlalu peduli pada sekitar, tetapi mungkin kurang peduli pada diri sendiri.
“Awan janji gak akan buat Mama khawatir lagi.” Kalimat sungguh-sungguh itu memecah kerumitan di kepala Pelita.
Memberi senyum terbaik, wanita itu larut dalam gemuruh dalam dada. Ia bangga sekaligus terluka atas sikap ksatria sang putra.
Usai tiga hari dirawat di rumah sakit, orang tua Alden menjenguk Awan dan membawa banyak buah-buahan. Pelita jadi ingat siapa sosok Alden kala wajah familiar dengan versi dewasa datang bertandang. Bocah lelaki yang pernah memukul Awan. Ah, Pelita mengingatnya dalam waktu kilat.
“Saya berterima kasih atas kebaikan hati Awan yang membuat Alden selamat dari kecelakaan.” Ayah Alden berucap tenang.
Pelita mengangguk sejenak, matanya lantas memindai wanita paruh baya yang membuang pandang. Pelita seakan dibuat menapaki masa lalu kala wanita berpakaian mewah tersebut menuding dirinya dengan jari telunjuk.
Benar. Peristiwa pemukulan Awan oleh Alden, Pelita laporkan pada wali kelas mereka kala menginjak kelas dua SD. Dari laporan itu pula, Pelita dipertemukan dengan wanita cantik yang kini menghindari kontak mata dengannya.
“Namanya juga anak-anak. Wajar lah, mainnya juga begitu. Kalau enggak pukul-pukulan, ya mana mungkin masak-masakan? Mereka kan lelaki. Jadi wajar.”
Kalimat “namanya juga anak-anak” seolah menjadi dalih pertengkaran antara anak dibenarkan. Sekalipun dengan fisik, menghasilkan luka, tetapi namanya anak-anak. Pelita merasa pemikiran tersebut salah kaprah. Anak-anak harus dididik menjadi baik. Jangan sampai menjadi bibit pembully yang akhirnya berdampak di masa dewasanya nanti.
Tak mempunyai buku parenting, tetapi Pelita paham bahwa pemikiran seperti Ibu Alden adalah kesalahan. Ia dengan berani menggeleng tegas atas argumen yang disampaikan.
“Maaf, saya tidak setuju atas pendapat Anda. Jangan mewajarkan pertengkaran anak dengan anak, Bu. Harusnya, kita sebagai orang dewasa memberi nasihat juga pengarahan bahwa apa yang dilakukan Alden pada Awan adalah kesalahan.” Pelita menjawab dengan nada lembut tetapi penuh penegasan.
“Lho, Anda itu gimana? Namanya juga anak-anak. Nanti kalau besar pasti tahu apa yang benar. Jangan dibesar-besarkan. Alden cuman melakukannya sekali—”
“Tiga kali, Bu.” Pelita memotong ucapan tersebut.
Perdebatannya dengan Ibu Alden baru berhenti kala kepala sekolah menengahi. Memberi arahan, lelaki paruh baya tersebut menunjukkan jalan keluar. Seperti yang Pelita ungkapkan; anak harus dididik sedari dini. Pelan-pelan, dari hati ke hati, dan tentu tanpa kekerasan di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik (21+)
ChickLitMemiliki anak tanpa suami adalah aib yang menimpa Pelita Nuri. Tak terhitung cibiran, hinaan, serta makian diterima sepanjang hidupnya. Namun, itu tak seberapa dibanding luka yang disimpan dalam diamnya. Bertemu dengan Guntur Pranaja adalah kesalaha...