“Kamu bercanda?”
“Saya tidak bercanda, Nyonya.” Pelita menjawab tenang.
Wanita di hadapan hanya memijit pelipis pelan. Pikirannya kemelut seiring dada yang terasa gerah. Emosi membanjiri hati. Detik kemudian, ia kembali memindai Pelita secara rinci.
“Apa buktinya? Putraku selalu menjaga pergaulan. Bahkan sebelum dia tahu, kami sudah menyiapkan jodoh yang baik sejak dini. Kamu tahu apa kriteria untuk menjadi istrinya? Setara. Ya, harus setara dengan Guntur dan termasuk dalam geng sosialita kami.”
Pelita diam dan bungkam. Dia terlalu polos hingga tak membawa bukti apa-apa selain sebuah kartu alamat yang diberikan Guntur waktu dulu. Ia merasa terpojok sekarang.
“Guntur sudah tahu Nyonya. Dia memaksa saya—”
“Oh hey! Lihat saja wajahmu! Mana mungkin mata anakku buta dan memilih menanam benih di rahim gadis jelata? Sungguh aku meragukan segala. Bahkan, aku mulai mengira kamu ... jalang.”
Napas Pelita berembus cepat. Detak jantungnya bertambah dua kali lipat. Emosi terpantik begitu saja tanpa bisa dikendalikan. Mengapa meminta pertanggung jawaban bisa serumit ini? Pelita tak pernah menyangka juga menduga akan begini.
“Nyonya, saya mungkin rakyat jelata, tetapi saya memiliki harga diri. Baiklah, setelah bayi ini lahir atau saat nanti kandungan saya sudah lebih besar, Nyonya bisa melakukan tes DNA. Demi Tuhan, putra Anda yang memaksa saya. Dalam keadaan mabuk dan tanpa kesadaran, Guntur melakukan pemerkosaan.” Pelita berujar dengan tangan terkepal.
“Pemerkosaan? Alah! Wajahmu itu tak seberapa. Kamu pasti menjebak anakku hingga melakukan kesalahan besar. Jika tidak, kamu mau meminta ganti rugi berapa? Akan kuberikan uang yang kamu minta.” Mama Guntur berkacak pinggang.
“Pertanggungjawaban Guntur dengan pernikahan lebih saya butuhkan, Nyonya. Uang berapapun yang Nyonya berikan tidak akan bisa mejadi pengganti. Hamil tanpa suami adalah aib yang mencoreng harga diri. Padahal ... saya sudah menjaga kehormatan dengan hati-hati, tetapi anak Anda yang merusak tanpa nurani.”
Hening menyeruak. Kedua wanita itu masih menampakkan wajah keras. Sama-sama membalas mata dengan mata. Saling mengepalkan tangan dan berdiri dengan gelegak amarah dalam dada.
“Baiklah! Kamu kembali ke sini besok. Semua yang kamu minta akan kukabulkan demi kebaikan bersama.” Wanita itu melengos sembari berkata demikian.
Kelegaan melingkupi hati. Pelita pulang dengan rasa tenang. Senang? Tidak juga. Ia butuh Guntur sebagai sosok ayah untuk anaknya. Tidak terpikir untuk wanita itu tentang uang atau berlian. Pelita menginginkan satu saja; Guntur bertanggung jawab hingga anak mereka bisa merasakan kasih sayang orang tua lengkap. Sederhana bukan?
Melangitkan doa tiada henti, Pelita kembali ke rumah Guntur esok hari. Kali ini, sambutan Mama Guntur terlihat ramah. Wanita itu mampu tersenyum semringah dan menyajikan camilan juga minuman segar. Sungguh berbanding terbalik. Pelita tak berpikir macam-macam karena Tuhan bisa mengubah manusia seperti membalikkan tangan, 'kan?
“Guntur akan pulang dari Jepang. Mungkin dua jam lagi dia sampai. Kamu santai dulu. Oh, iya, maafkan atas kesalahanku kemarin. Panggil aku mama.” Mama Guntur berkata meyakinkan dengan senyum keibuan.
Pelita mengangguk. Mereka berbincang ringan. Lama menunggu, akhirnya wanita hamil itu terpaksa menyentuh jamuan yang tersedia.
Nyata, itu sebuah kesalahan. Minuman Pelita dicampur obat tidur. Lantas, kala ia hilang kesadaran, Mama Guntur melakukan rekayasa kejahatan. Memotret Pelita tanpa busana dengan banyak lelaki yang merupakan bawahannya. Wanita paruh baya itu tertawa kesetanan melihat gadis polos yang terlihat tenang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik (21+)
Romanzi rosa / ChickLitMemiliki anak tanpa suami adalah aib yang menimpa Pelita Nuri. Tak terhitung cibiran, hinaan, serta makian diterima sepanjang hidupnya. Namun, itu tak seberapa dibanding luka yang disimpan dalam diamnya. Bertemu dengan Guntur Pranaja adalah kesalaha...