Ruangan bercat biru dongker tersebut masih bertahan dengan gulita. Satu nyawa yang ada di dalamnya tak bergeming barang sejengkal saja. Detak jam dinding sampai terdengar karena saking heningnya.
Guntur masih setia diam dengan pandangan kosong. Kamar ini memang gelap tanpa cahaya. Meski begitu, ia hafal di mana letak pintu tanpa harus meraba-raba. Duduk sembari meremas kepala, segalanya berkemelut. Otaknya makin kusut dikarenakan segala praduga mencuat membuat acak adut.
Pelita. Wanita yang ditemuinya minggu lalu masih menjejakkan bara dalam dadanya. Guntur tak menampik, peluang Awan adalah darah dagingnya memanglah lebih dari setengah persen. Pasalnya, dari detektif yang disewa, Guntur bisa membaca biodata lengkap Pelita. Akan tetapi, jejak pernikahan, dekat dengan lelaki, dan riwayat kencan tak ia temui di sana. Walaupun detektif bayaran tersebut telah berpesan dengan kalimat, “Segalanya dari kami bukan berarti segalanya dari kenyataan yang target alami.” Guntur masih memiliki peluang tak percaya dengan pengakuan yang dia dengar sendiri.
Mengembuskan napas lelah, Guntur bangkit dari duduknya. Ia memegang handle pintu dan keluar dari ruang ketenangan untuk pulang. Dari rumah sederhana tempatnya menyendiri, Guntur memacu mobilnya dalam pekatnya malam.
Sampai di rumah usai setengah jam menempuh perjalanan, Guntur disambut para pembantu. Menilik segalanya, lelaki itu bisa menyimpulkan bahwa Lintang telah tidur terlebih dahulu. Ia pun bergegas menuju kamar dan melihat sang istri tertidur pulas dengan rambut awut-awutan, tetapi terlihat lucu.
“Sudah kubilang jangan, kenapa masih melanggar segalanya, Lin?” Guntur bergumam lirih usai menatap istrinya lama.
Menempuh pernikahan dengan Lintang bukanlah keinginan. Keterpaksaan adalah rasa murni yang Guntur alami. Lelaki itu awalnya ingin memastikan suatu masalah tentang suramnya masa muda berkaitan dengan Pelita. Tetapi, rencananya dihalangi oleh keluarga besarnya. Walhasil, meski memberontak, Lintang adalah jodoh yang digariskan keluarga. Tentang jodoh dari Tuhan? Guntur mulai meyakini selepasnya. Bukankah witing tresno jalaran soko kulino? Dan Guntur tak perlu repot-repot belajar mencinta karena Lintang memang memiliki pesona paripurna yang bisa menundukkan banyak lelaki.
“I love you, Lin,” bisik Guntur mengecup pipi putih di hadapan.
Kecupan ringan itu mampu menarik Lintang ke alam nyata. Segera perempuan tersebut terduduk dan mengucek mata. Semula pandangannya linglung, tetapi kemudian ia menepuk kepala pelan.
“Astaga, Mas Gugun, maaf, aku niat mau nungguin kamu di ruang makan tapi malah ketiduran—”
“Gapapa,” balas Guntur singkat dan memberi pergerakan yang semestinya.
Merapatkan jarak, Guntur memutuskan membasahi bibir Lintang dengan bibirnya. Lintang membalas meski agak terkejut awalnya. Nyawanya belum terisi penuh dan Guntur justru menambah beban pikirannya? Dasar!
Tangan Lintang meremas lengan Guntur pertanda kehabisan napas. Tautan bibir mereka terlepas bersama dengan napas yang terengah.
Apakah itu cinta? Guntur bertanya pada dirinya sendiri. Menatap Lintang memang menyenangkan hati. Nahas, mengapa bisa akhir-akhir ini bayang Pelita mampir di pikirannya? Seolah wajah Lintang berganti rupa Pelita di detik ini. Menyebalkan dan membuat Guntur ingin melenyapkan segala memori.
“Dih lagi mikir kotor, ya?” tanya Lintang membuat nyawa Guntur seakan kembali sesudah berkelana.
“Apa alasan kamu menerimaku, Lin?” Guntur bertanya secara tiba-tiba.
Memikirkan masa lalu, Guntur ingat bahwa Lintang adalah perempuan sempurna. Anak satu-satunya dari keluarga terpandang, tetapi tertutup; Hadi Kusumo. Dari sekian lelaki, kenapa Lintang memilih dirinya? Satu tanya tiba-tiba terlintas di kepala. Sebagai keluarga terkenal, tetapi tak sekaya keluarga Lintang, Guntur merasa timpang sebelah. Selain belum cinta, ia juga minder di dekat istrinya. Segala rasa tersebut tak berguna karena pada akhirnya perjodohan berjalan semestinya.
Di tahun kelima pernikahan, barulah omak besar itu datang. Lintang mulai disindir, digunjing, dan diejek oleh keluarga Guntur juga segelintir kerabatnya sendiri. Mandul. Kata menyakitkan tersebut membuat Guntur murka dan mengeluarkan kalimat tajam pada mereka yang melukai Lintang Kirana.
“Karena dari matamu, aku menemukan tanggung jawab.” Lintang berkata tenang sebagai jawaban.
Nyawa Guntur kembali. Lalu, mata lelaki itu memindai wajah istrinya lamat-lamat. Mendengar penuturan tersebut layaknya teka-teki. Jika saja diperbolehkan menilai ... Guntur menilai dirinya sebagai lelaki yang bej4t juga tak memiliki hati. Kenapa bisa Lintang menyebutnya bertanggung jawab? Aneh sekali.
“Ingat pertemuan pertama?” tanya Lintang sembari mengelus rahang suaminya.
“Kamu menabrak seseorang dan mau bertanggung jawab. Bukan hanya memberi uang, kamu membawanya juga menungguinya di rumah sakit. Kenapa aku tahu? Karena itu adalah sopir pribadiku. Mungkin kamu lupa, tapi memang dulu aku belum berjilbab, Mas.”
Ingatan Guntur dibuat melanglang buana. Lelaki itu diam saja dengan keterkejutan yang merebak dalam dada. Ternyata, Lintang mengenalnya sebelum perjodohan berlangsung. Bod-hnya dia yang tak mengingat segala.
“Lalu, pertemuan pertama saat perencanaan perjodohan ... kata-katamu membuatku yakin segalanya. ‘Uang tidak bisa membeli harga diri meski uang adalah segalanya saat ini.’ Berbeda dari calon-calon sebelumnya yang menyogokku dengan barang mewah, tetapi kamu tidak.” Lintang kembali menatap Guntur dengan senyum lebar.
Matanya mengedarkan getaran luar biasa. Lintang memang sudah jatuh cinta sejak pertama. Guntur yang ada di hadapannya hanya bisa mengangguk. Hatinya ikut bergetar dan bayang Pelita hadir dalam benaknya sekian kali.
“Lin ....”
“I love you, Mas Guntur.” Lintang langsung mendekap suaminya.
Pelukan mereka tercipta erat dan menyebarkan hangat. Usai merenggangkan pelukan, Lintang menarik Guntur hingga terlentang di kasur. Senyum wanita itu terlihat menggoda kala memposisikan diri di atas suaminya.
“Aku ingin cepat punya anak, Mas.” Lintang berkata penuh keinginan.
“Bayi tabung saja?” tanya Guntur menawarkan.
Segala tes juga saran untuk program kehamilan telah mereka lakukan. Semuanya seakan berakhir sia-sia karena belum ada hasilnya. Lintang mulai merasa tak berguna dan Guntur menimbun iba.
Tes kesehatan menunjukkan kenormalan. Bisa disimpulkan, Tuhan belum mengabulkan apa yang mereka inginkan. Guntur senantiasa menguatkan Lintang kala rasa down mendera. Bukan sekali, tetapi berkali-kali. Berkahir, mereka tegar menjalani.
“Aku pengin coba dan usaha tips dari teman. Em, ya, kalau tahun ini gak berhasil ... kita bayi tabung saja tahun depan. Gimana?” Binar semangat kembali membara di mata Lintang.
Bukannya menjawab, Guntur meremas pundak Lintang dan membalikkan posisi. Kini sang istri berada di bawahnya. Ekspresi keduanya berbanding terbalik. Guntur setia dengan senyumannya dan Lintang sangat terkejut dibuatnya.
“Terserah kamu, Lin. Udah diam dan ....”
Kalimat menggantung tersebut tidak menemui ujung. Guntur lebih suka melancarkan serangan terhadap mangsa di bawahnya daripada pusing memikirkan segala. Pelarian terbaik memanglah berduaan dengan Lintang. Dengan begitu, Guntur bisa melupakan sejenak segala beban. Barulah kala kegiatan usai, Guntur ke balkon meninggalkan Lintang yang tidur dengan wajah letihnya.
Menatap langit malam, Guntur mulai menyusun strategi teranyar. Ia akan mengungkap kebenaran hubungan Awan dengan dirinya dan mencari bukti bagian dari masa lalu. Jika semua terbukti benar, Guntur ingin mengadopsi Awan menjadi putranya secara resmi tanpa harus membuat Lintang tersakiti. Jika demikian, Pelita bisa mencari lelaki tanpa terbebani bukan? Mudah, 'kan?
B e r s a m b u n g ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik (21+)
Chick-LitMemiliki anak tanpa suami adalah aib yang menimpa Pelita Nuri. Tak terhitung cibiran, hinaan, serta makian diterima sepanjang hidupnya. Namun, itu tak seberapa dibanding luka yang disimpan dalam diamnya. Bertemu dengan Guntur Pranaja adalah kesalaha...