Pelita mengatur napas. Ia memilih mengurung diri di kamar untuk meredakan emosi. Meninggalkan Awan dengan senyum penuh keyakinan, wanita itu berakhir menangis dalam kesendirian.
Setegar-tegarnya berjuang, Pelita menemukan titik lelah sendiri. Ia tak munafik. Ia pernah bermimpi indahnya biduk rumah tangga saat dulu menginjak gadis dewasa. Namun, kejadian masa lalu menahan langkahnya. Tak ada lagi sekadar mimpi memiliki suami seperti mendiang ayah tercinta, yang meninggal saat Pelita masih belia.
Sekarang, mimpi wanita itu berubah. Pelita hanya ingin membesarkan Awan dengan tangannya sendiri. Perjuangannya akan semakin sulit jika Guntur menunjukkan tatapan tadi. Serupa hewan buas dan Awan adalah mangsanya. Tidak! Pelita tidak ingin Awan dicuri.
“Apa aku harus pindah kota?” Tanya itu serupa jalan tanpa belokan.
Kepala buntu, Pelita mengusap tangisan. Ia akan mencari lowongan kerja dari sekarang dan bersiap pindah kala sudah diterima nanti. Dengan begitu, ia masih berharap agar Guntur melemahkan segala ambisi dan sudi pergi.
Seminggu berlalu, Pelita sukses menghindari Lintang juga Guntur. Tak lupa, rasa syukur semakin bertambah subur kala ia dipindahkan ke gedung dekat dengan sekolah Awan. Selain menghemat pengeluaran, kepindahan Pelita juga mempermudah dirinya untuk menjaga Awan dari segala kondisi.
Memikirkan bocah manis itu, Pelita sempat terkejut pasca menenangkan emosi atas kejadian seminggu lalu. Pasalnya, Awan tidak tidur di kamarnya sendiri, justru malah menunggu Pelita dengan berdiri. Di depan pintu wajah tersirat khawatir tersebut berada.
“Mama marah?” tanya wajah polos itu.
Pelita sudah berulangkali menegaskan pada Awan untuk berhati-hati pada orang asing yang tak memiliki hubungan kekerabatan. Bocah itu tentu manut. Namun, pada Lintang, Awan tak bisa menolak segala keinginan.
“Maafin Awan, ya, Ma. Awan janji, enggak gitu lagi.” Awan menampakkan wajah muram.
Pelita masih diam guna menunggu respons Awan lain. Melihat kesedihan di wajah sang putra sebenarnya sudah mengundang rasa tak tega. Namun, Pelita masih ingin melihat apa yang akan dilakukan Awan selanjutnya.
“Ma?” Awan memanggil.
Pelita masih diam saja. Sudut bibirnya tertarik sempurna karena tiba-tiba Awan langsung memeluknya erat. Tak dinyana bocah itu menangis sesenggukan usainya.
“Awan salah, Ma. Maafin, ya.”
Manis sekali. Pelita mengangguk dan mengusap bulir bening di pipi sang putra. Membalas dekapan, wanita itu juga melayangkan kecupan sayang.
“Jangan nangis pangerannya mama.” Pelita berkata pelan sembari mengelus punggung Awan yang gemetar.
“Mama maafin Awan, 'kan?” Awan justru bertanya hal lain dengan sesenggukan.
Pelita memaklumi hal ini. Awan adalah tipe anak yang love language-nya berupa sentuhan juga ucapan cinta. Bocah itu lebih peka terhadap sekitar akhir-akhir ini. Jika Pelita tak banyak berbicara dan dominan diam, maka Awan segera meminta maaf. Padahal, terkadang Pelita diam hanya karena kelelahan bukan karena Awan melakukan kesalahan.
“Iya, Awan. Mama maafin Awan.” Pelita mengelus pipi yang sedikit gembili di hadapan.
“Asal, Awan janji jangan nakal lagi. Dan ... jangan terlalu dekat dengan orang asing.”
Pesan Pelita tetap sama. Meski tak tiap waktu bersama, Pelita yakin, Awan mematuhi kalimatnya. Pernah juga Pelita menasihati Awan agar jangan nakal. Namun, nasihat tersebut salah besar. Awan terkena pukulan teman sekelas sampai menimbulkan memar. Berangkat dari situ, Pelita memilih berhati-hati menasihati. Tak lupa, wanita itu kerap mengambil ilmu parenting dan ikut serta dalam grup berbayar. Hasilnya, tak bisa dideskripsikan. Awan menjadi pribadi baik walaupun tanpa sosok papa. Ah, Pelita dibuat bangga atas segala pencapaian walaupun lelah kadang mendera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik (21+)
ChickLitMemiliki anak tanpa suami adalah aib yang menimpa Pelita Nuri. Tak terhitung cibiran, hinaan, serta makian diterima sepanjang hidupnya. Namun, itu tak seberapa dibanding luka yang disimpan dalam diamnya. Bertemu dengan Guntur Pranaja adalah kesalaha...